Andai saja
aku biarkan mata ini terjaga agar bisa menyambutmu kedatanganmu, apakah hal
tersebut akan menjadi suatu kebahagiaan untukmu? Terlebih hal itu sudah menjadi
hal biasa yang terlihat, tentu akan semakin memperbesar potensi kebosanan.
Bahkan siang dan malam pun selalu memberikan suasana yang berbeda di setiap
kepergian ataupun kedatangannya. Terutama bagi para penikmat kemesraannya.
Engkau mungkin telah diberkahi
dengan mahkota emas, dengan rambut ikalnya yang lebih menarik. Akan tetapi jika
aku hanya terpaku kepada paras nan menawan itu. Atau andai saja aku tertuju
pada mahkota emas itu, mungkin tatap, senyum, ataupun kehangatan yang selalu
kau beri sudah tak lagi menjadi arti. Dan akan sangat mungkin segala kata-kata
yang terangkai ini telah terputus.
Engkau sudah pasti mengenalku,
tentang bagaimana banyaknya sikap menahan diri pada akhirnya mengajarkan akan
kekosongan. Meskipun tidak pernah terbesit sama sekali pengalaman-pengalaman
itu banyak memberiku pelajaran sejak kecil. Hingga ketaatan ataupun kemandirian
bukan lagi sesuatu yang perlu dibanggakan. Karena justru kekosongan itu yang
lebih melekat dan layak untuk dirindukan.
Mungkin saja ia telah banyak
membersamaiku dalam kesabaran, seolah ia pun enggan menggantikan sesuatu apapun
selain dirinya, terlebih untuk dirimu. Oleh karena itu, aku tetap menyimpan
motivasi-motivasi kejahatan, agar aku masih tetap bisa menjaga kebaikan
kepadamu. Aku tidak akan berhenti berprasangka kepadamu, agar aku tidak
berhenti untuk selalu menahan diri. Apalagi demi cinta yang masih begitu banyak
mengharapkan balas darimu.
Aku mungkin
akan kehilangan bahagia dan memilih untuk berduka atas segala kemungkinan jika
aku melewatkan keindahan sapaanmu. Namun, bukankah syarat datangnya bahagia
justru harus ada duka lara? Begitupu sebaliknya. Karena kedua hal tersebut
merupakan satu kesatuan yang banyak terlihat darimu. Hingga aku mendapatkan
keindahan yang merdeka atas segala hal, terutama jika hal tersebut menyangkut
apapun tentang dirimu.
Suatu saat, dirimu pasti akan
menemukan satu waktu ketika hanya melihat duri yang tumbuh atau bahkan mungkin
segala bentuk najis mengerumuni diriku. Hal-hal seperti itu akan menghentikan
langkahmu untuk mendekat kepadaku. Jika tempat yang penuh duri dan kehinaan itu
merupakan dinding rumahku, jangankan untuk masuk, sekedar menyentuhnya pun
engkau pasti akan ketakutan.
Bagaimana mungkin mahkota emas
akan menyandingkan diri dengan kehinaan yang jelas-jelas tampak? Sedangkan aku
sama sekali tak terpengaruh oleh penglihatan-penglihatan tentang sesuatu yang
menjadi dinding rumahku. Bahkan ketika engkau berkata sesuatu yang buruk
tentang selimut atau dinding rumahku, kenapa aku mesti marah? Sedangkan itu
satu-satunya syarat menuju jalan pintu kebahagiaan denganku.
Aku bagaikan pembunuh yang sama
sekali tidak memiliki empati ataupun simpati karena selalu dapat menikmati
prasangka mereka dengan canda tawa. Mungkin saja aku memiliki banyak musuh yang
mereka tidak memiliki syarat apapun untuk dapat mengutukku. Atau mereka justru
menghancurkan dirinya sendiri dengan banyak menghindar dari pandanganku.
Hanya engkau yang benar-benar
mengenalku yang mampu menembus dinding rumah itu tanpa prasangka apapun. Hanya
mereka yang banyak menahan diri dalam keterasingan atau kekosongan yang mampu
membuka hijab-hijab kehinaan yang menyelimuti. Dan hanya engkau yang
benar-benar terpilih yang akan terus meneruskan langkah.
Cinta bukanlah sesuatu yang
mesti didapatkan. Cinta merupakan sesuatu ketika dengannya engkau akan selalu
rela untuk memberi tanpa mengharap balas. Rindu bukanlah sesuatu yang
menjadikanmu lantas ingin segera bertemu, kecuali ia akan menjadikanmu semakin
candu tanpa harus memadu.
Kasih, coba perhatikan kembali,
adakah cahaya itu engkau lewatkan? Sedang engkau sendiri tahu, bahwa waktu
banyak memberi ruang kita bersama dalam kekosongan asa, bahkan mengikat dalam
tali kemesraan yang fana. Atau haruskah aku merayu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar