Sabtu, 22 Agustus 2020

kata manis

 

HATI SANUBARI

Biarkanlah saya menyebut apa yang terasa;

kemudian tuan bebas memberi saya nama dengan apa yang tuan sukai;

Saya adalah pemberi maaf, dan perangai saya adalah mudah, tidak sulit.

Cuma rasa hati sanubari itu tidaklah dapat saya menjualnya;

katakanlah kepadaku, demi Tuhan. adakah rasa hati sanubari itu bisa dijual?

 

RODA PEDATI

Nasib makhluk adalah laksana roda pedati

Ia turun dan ia naik, silih berganti

Demikian kehendak Tuhan Rabbul Izzati

kita menunggu qadar, kita berharap dan menanti...

 

BIAR MATI BADANKU KINI

Biar mati badanku kini

Payah benar menempuh hidup

Hanya khayal sepanjang hidup

Biar muram pusaraku sunyi

Cucuk kerah pudingnya redup

Lebih nyaman tidur di kubur

 

HANYA HATI

Gajiku kecil pencaharian lain tak ada kicuh buku aku tak tahu korupsi aku tak mahir berniaga aku tak pandai Kau minta permadani padaku hanya tikar pandan tempat berbaring tidur seorang kau minta tas atom padaku hanya kampir matur kau minta rumah indah perabot cukup lihatlah! Gubukku tiris kau minta kereta bagus aku hanya orang kecil apa dayaku kekayaanku hanya satu, dik Hati hati yang luas tak bertepi cinta yang dalam tak terajuk.

Kamis, 13 Agustus 2020

ASAL USUL PENANGGALAN HIJRIAH

 

Happy new year
esai ini reques dari teman 

Sejarah Penetapan Penanggalan Tahun Hijriyah

Saat ini kita berada di penghujung bulan Dzulhijah; bulan ke 12 dari kalender hijriyah. Beberapa hari lagi kita akan memasuki tahun baru hijriyah. Moment yang sangat pas untuk mempelajari kembali sejarah penetapan penanggalan hijriyah.

Kalender hijriyah adalah penanggalan rabani yang menjadi acuan dalam hukum-hukum Islam. Seperti haji, puasa, haul zakat, ‘idah thalaq dan lain sebagainya. Dengan menjadikan hilal sebagai acuan awal bulan. Sebagaimana disinggung dalam firman Allah ta’ala,

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ ۖ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ ۗ َ

Orang-orang bertanya kepadamu tentang hilal. Wahai Muhammad katakanlah: “Hilal itu adalah tanda waktu untuk kepentingan manusia dan badi haji.”(QS. Al-Baqarah: 189)

Sebelum penanggalan hijriyah ditetapkan, masyarakat Arab dahulu menjadikan peristiwa-peristiwa besar sebagai acuan tahun. Tahun renovasi Ka’bah misalnya, karena pada tahun tersebut, Ka’bah direnovasi ulang akibat banjir. Tahun fijar, karena saat itu terjadi perang fijar. Tahun fiil (gajah), karena saat itu terjadi penyerbuan Ka’bah oleh pasukan bergajah. Oleh karena itu kita mengenal tahun kelahiran Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam dengan istilah tahun fiil/tahun gajah. Terkadang mereka juga menggunakan tahun kematian seorang tokoh sebagai patokan, misal 7 tahun sepeninggal Ka’ab bin Luai.” Untuk acuan bulan, mereka menggunakan sistem bulan qomariyah (penetapan awal bulan berdasarkan fase-fase bulan)

Sistem penanggalan seperti ini berlanjut sampai ke masa Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam dan khalifah Abu Bakr Ash-Sidiq radhiyallahu’anhu. Barulah di masa khalifah Umar bin Khatab radhiyallahu’anhu, ditetapkan kalender hijriyah yang menjadi pedoman penanggalan bagi kaum muslimin.

Latar Belakang Penanggalan

Berawal dari surat-surat tak bertanggal, yang diterima Abu Musa Al-Asy-‘Ari radhiyahullahu’anhu; sebagai gubernur Basrah kala itu, dari khalifah Umar bin Khatab. Abu Musa mengeluhkan surat-surat tersebut kepada Sang Khalifah melalui sepucuk surat,

إنه يأتينا منك كتب ليس لها تاريخ

“Telah sampai kepada kami surat-surat dari Anda, tanpa tanggal.”

Dalam riwayat lain disebutkan,

إنَّه يأتينا مِن أمير المؤمنين كُتبٌ، فلا نَدري على أيٍّ نعمَل، وقد قرأْنا كتابًا محلُّه شعبان، فلا ندري أهو الذي نحن فيه أم الماضي

“Telah sampai kepada kami surat-surat dari Amirul Mukminin, namun kami tidak tau apa yang harus kami perbuat terhadap surat-surat itu. Kami telah membaca salah satu surat yang dikirim di bulan Sya’ban. Kami tidak tahu apakah Sya’ban tahun ini ataukah tahun kemarin.”
Karena kejadian inilah kemudian Umar bin Khatab mengajak para sahabat untuk bermusyawarah; menentukan kalender yang nantinya menjadi acuan penanggalan bagi kaum muslimin.

Penetapan Patokan Tahun

Dalam musyawarah Khalifah Umar bin Khatab dan para sahabat, muncul beberapa usulan mengenai patokan awal tahun.

Ada yang mengusulkan penanggalan dimulai dari tahun diutus Nabi shallallahu’alaihiwasallam. Sebagian lagi mengusulkan agar penanggalan dibuat sesuai dengan kalender Romawi, yang mana mereka memulai hitungan penanggalan dari masa raja Iskandar (Alexander). Yang lain mengusulkan, dimulai dari tahun hijrahnya Nabi shallallahu’alaihiwasalam ke kota Madinah. Usulan ini disampaikan oleh sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu. Hati Umar bin Khatab radhiyallahu’anhu ternyata condong kepada usulan ke dua ini,

الهجرة فرقت بين الحق والباطل فأرخوا بها

” Peristiwa Hijrah menjadi pemisah antara yang benar dan yang batil. Jadikanlah ia sebagai patokan penanggalan.” Kata Umar bin Khatab radhiyallahu’anhu mengutarakan alasan.

Akhirnya para sahabatpun sepakat untuk menjadikan peristiwa hijrah sebagai acuan tahun. Landasan mereka adalah firman Allah ta’ala,

لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَىٰ مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيه َ

Sesungguhnya mesjid yang didirikan atas dasar takwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. (QS. At-Taubah:108)

Para sahabat memahami makna “sejak hari pertama” dalam ayat, adalah hari pertama kedatangan hijrahnya Nabi. Sehingga moment tersebut pantas dijadikan acuan awal tahun kalender hijriyah.

Al Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahillah dalam Fathul Bari menyatakan,

وأفاد السهيلي أن الصحابة أخذوا التاريخ بالهجرة من قوله تعالى : لمسجد أسس على التقوى من أول يوم لأنه من المعلوم أنه ليس أول الأيام مطلقا ، فتعين أنه أضيف إلى شيء مضمر وهو أول الزمن الذي عز فيه الإسلام ، وعبد فيه النبي – صلى الله عليه وسلم – ربه آمنا ، وابتدأ بناء المسجد ، فوافق رأي الصحابة ابتداء التاريخ من ذلك اليوم ، وفهمنا من فعلهم أن قوله تعالى من أول يوم أنه أول أيام التاريخ الإسلامي ، كذا قال ، والمتبادر أن معنى قوله : من أول يوم أي دخل فيه النبي – صلى الله عليه وسلم – وأصحابه المدينة والله أعلم .

“Dan As-Suhaili memberikan tambahan informasi: para sahabat sepakat menjadikan peristiwa hijrah sebagai patokan penanggalan, karena merujuk kepada firman Allah Ta’ala,

لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَىٰ مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيه َ

Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya.” (QS. At-Taubah: 108)

Sudah suatu hal yang maklum; maksud hari pertama (dalam ayat ini) bukan berarti tak menunjuk pada hari tertentu. Nampak jelas ia dinisbatkan pada sesuatu yang tidak tersebut dalam ayat. Yaitu hari pertama kemuliaan islam. Hari pertama Nabi shallallahu’alaihiwasallam bisa menyembah Rabnya dengan rasa aman. Hari pertama dibangunnya masjid (red. masjid pertama dalam peradaban Islam, yaitu masjid Quba). Karena alasan inilah, para sahabat sepakat untuk menjadikan hari tersebut sebagai patokan penanggalan.

Dari keputusan para sahabat tersebut, kita bisa memahami, maksud “sejak hari pertama” (dalam ayat) adalah, hari pertama dimulainya penanggalan umat Islam. Demikian kata beliau. Dan telah diketahui bahwa makna firman Allah ta’ala: min awwali yaumin (sejak hari pertama) adalah, hari pertama masuknya Nabi shallallahu’alaihiwasallam dan para sahabatnya ke kota Madinah.
. Allahua’lam. ” (Fathul Bari, 7/335)

Sebenarnya ada opsi-opsi lain mengenai acuan tahun, yaitu tahun kelahiran atau wafatnya Nabi shallallahu’alaihiwasallam. Namun mengapa dua opsi ini tidak dipilih? Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan alasannya,”

لأن المولد والمبعث لا يخلو واحد منهما من النزاع في تعيين السنة ، وأما وقت الوفاة فأعرضوا عنه لما توقع بذكره من الأسف عليه ، فانحصر في الهجرة ، .

“Karena tahun kelahiran dan tahun diutusnya beliau menjadi Nabi, belum diketahui secara pasti. Adapun tahun wafat beliau, para sahabat tidak memilihnya karena akan menyebabkan kesedihan manakala teringat tahun itu. Oleh karena itu ditetapkan peristiwa hijrah sebagai acuan tahun.” (Fathul Bari, 7/335)

Alasan lain mengapa tidak menjadikan tahun kelahiran Nabi shallallahu’alaihiwasallam sebagai acuan; karena dalam hal tersebut terdapat unsur menyerupai kalender Nashrani. Yang mana mereka menjadikan tahun kelahiran Nabi Isa sebagai acuan.

Dan tidak menjadikan tahun wafatnya Nabi shallallahu’alaihiwasallam
sebagai acuan, karena dalam hal tersebut terdapat unsur tasyabuh dengan orang Persia (majusi). Mereka menjadikan tahun kematian raja mereka sebagai acuan penanggalan.

Penentuan Bulan

Perbincangan berlanjut seputar penentuan awal bulan kalender hijriyah. Sebagian sahabat mengusulkan bulan Ramadhan. Sahabat Umar bin Khatab dan Ustman bin Affan mengusulkan bulan Muharram.

بل بالمحرم فإنه منصرف الناس من حجهم

“Sebaiknya dimulai bulan Muharam. Karena pada bulan itu orang-orang usai melakukan ibadah haji.” Kata Umar bin Khatab radhiyallahu’anhu.
Akhirnya para sahabatpun sepakat.

Alasan lain dipilihnya bulan muharam sebagai awal bulan diutarakan oleh Ibnu Hajar rahimahullah,

لأن ابتداء العزم على الهجرة كان في المحرم ؛ إذ البيعة وقعت في أثناء ذي الحجة وهي مقدمة الهجرة ، فكان أول هلال استهل بعد البيعة والعزم على الهجرة هلال المحرم فناسب أن يجعل مبتدأ ، وهذا أقوى ما وقفت عليه من مناسبة الابتداء بالمحرم

“Karena tekad untuk melakukan hijrah terjadi pada bulan muharam. Dimana baiat terjadi dipertengahan bulan Dzulhijah (bulan sebelum muharom).
Dari peristiwa baiat itulah awal mula hijrah. Bisa dikatakan hilal pertama setelah peristiwa bai’at adalah hilal bulan muharam, serta tekad untuk berhijrah juga terjadi pada hilal bulan muharam (red. awal bulan muharam). Karena inilah muharam layak dijadikan awal bulan. Ini alasan paling kuat mengapa dipilih bulan muharam.” (Fathul Bari, 7/335)

Dari musyarah tersebut, ditentukanlah sistem penanggalan untuk kaum muslimin, yang berlaku hingga hari ini. Dengan menjadikan peristiwa hijrah sebagai acuan tahun dan bulan muharam sebagai awal bulan. Oleh karena itu kalender ini populer dengan istilah kalender hijriyah.

Ada beberapa pelajaran yang bisa kita petik dari kisah penanggalan hijriyah di atas:

1.    Kalender hijriyah ditetapkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para sahabat. Dan kita tahu bahwa ijma’ merupakan dalil qot’i yang diakui dalam Islam.

2.    Sistem penanggalan yang dipakai oleh para sahabat adalah bulan qomariyah. Hal ini diketahui dari surat Umar bin Khatab yang ditulis untuk Abu Musa Al-Asy-‘ariy; di situ tertulis bulan sya’ban, hanya saja tidak diketahui tahunnya.

3.    Para sahabat menjadikan kalender hijriyah sebagai acuan penanggalan dalam segala urusan kehidupan mereka; baik urusan ibadah maupun dunia. Sehingga memisahkan penggunaan kalender hijriyah, antara urusan ibadah dan urusan dunia, adalah tindakan yang menyelisihi konsesus para sahabat. Seyogyanya bagi seorang muslim, menjadikan kalender hijriyah sebagai acuan penanggalan dalam kesehariannya.

4.    Kalender hijriyah merupakan syi’ar Islam, yang menbedakannya dengan agama-agama lainnya.

Demikian yang bisa kami sampaikan. Allahu ta’ala a’lam bis showab.

Wa shallallahu ‘ala nabiyyina muhammad, wa’ala aalihi wa shahbihi wa sallam.

(Simak pembahasan masalah ini di kitab Fathul Baari 7/335-336, Bidayah wan Nihayah 3/206, Al-i’laam bi At-tauwbikh li man Dzammu At-taarikh, karya Asy-Syakhowi hal. 78)

Rabu, 12 Agustus 2020

Hagia Sophia dan Counter Narasi Revivalisme Khilafah

sejarah

 Hagia Sophia sampai hari ini masih banyak diperbincangkan di dunia internasional setelah dikonversi dari museum menjadi masjid pada Jumat, (10/07/20). Hagia Sophia menjadi polemik di berbagai media dunia baik yang pro maupun kontra.

Selain itu, kelompok Muslim CyberArmy yang concern dalam menggerakkan wacana Khilafah juga memanfaatkan momen tersebut untuk mengampanyekan propaganda revivalisme Khilafah di media sosial yang dikaitkan dengan alihfungsinya Hagia Sophia.

Secara historis, Hagia shophia merupakan simbol “kemegahaan peradaban” yang telah dibangun oleh Kaisar Romawi Yustinian I pada tahun 532- 537 M sebagai gereja Basilica Ortodoks di Konstantinopel.

Dalam perjalanannya pula, ia kemudian menjadi primodona bagi para penguasa peradaban saat itu, sehingga berbagai upaya penaklukkan terjadi untuk menaklukkan wilayah Konstantinopel.  Hagia Sophia ketika itu menjadi bukti peradaban Kristen serta menjadi kebanggaan mereka. Secara arsitektural, bahan bangunan Hagia Sophia dibuat dari batuan marmer yang diambil dari berbagai wilayah pegunungan di Afrika utara dan Mesir serta dibangun selama 6 tahun.

Dalam perjalanannya, sekitar tahun 1261 M Basilica Hagia Sophia pernah ditaklukkan oleh pasukan Salib. Mereka menyerang Konstantinopel dan mendudukinya, padahal secara agama mereka senapas dan berkelindan. Tetapi penaklukan ini bisa ditelaah dari faktor geopolitik dan ekonomi kala itu, karena Hagia Sophia menjadi rebutan berbagai penguasa peradaban dunia. Salah satunya Kekaisaran Sasaniyah, Bangsa Arab dan Dinasti Seljuk.

Kemudian pada tahun 1453 M, Sultan Mehmed II atau yang biasa dikenal sebagai Muhammad Al-Fatih menaklukkan Konstantinopel dan kemudian menjadikan Hagia Sophia sebagai Masjid. Tetapi ketika seiring berdirinya nation-state dalam hal ini di Turki, Presiden pertama Republik Turki, Mustafa Kemal Attaturk pada tahun 1934 melalui keputusan pengadilan Tertinggi Turki bernomor 2/1589, 24/11/1934 kemudian menjadikan Masjid Hagia Sophia menjadi Museum sebagai wujud berdirinya sekularisme di Turki.

Sejak Hagia Sophia ditetapkan menjadi museum oleh Attaturk, Hagia Sophia telah menjadi simbol persaudaraan kebangsaan. Attaturk sebagai pengosong sekularisasi dan modernisasi di Turki menjadikan Hagia Sophia sebagai payung bersama semua bangsa dan simbol toleransi beragama.

Artinya dalam konteks ini, sebenarnya dikonversinya Hagia Sophia menjadi masjid kembali dalam perspektif Hubungan Internasional merupakan suatu kemunduran sejarah. Meskipun demikian, kita tidak serta merta bisa menolak keputusan yang sudah ditetapkan Pemerintah Turki. Karena hal itu merupakan wujud dari kedaulatan Turki sebagai suatu negara.


Ilusi Revivalisme Khilafah

Di saat terdengar hingar bingar polemik di media seputar Hagia Sophia, kelompok pengusung khilafah memanfaatkannya sebagai bentuk propaganda revivalisme kekhalifahan Islam di dunia. Isu revivalisme khilafah seketika menjamur pasca peristiwa tersebut. Mereka menyebarkan narasi bahwa dengan dialih fungsikannya Hagia Sophia menunjukkan kejayaan Islam akan kembali lagi. Padahal secara politis itu tidak ada kaitannya sama sekali.

Mereka memaparkan tentang narasi khilafah di media, terutama narasi tulisan Abdul Qadeem Zallum, Amir Hizbut Tahrir yang dipilih setelah Taqiyuddin Nabhani. Mereka menggalakkan narasi provokatif, bahwa “kita harus menegakkan Islam atau mati demi menegakkan Islam. Kami mengajak setiap muslim di tengah kekufuran yang merajalela di negara-negara Islam, untuk bekerja menegakkan khilafah sebagai jalan untuk mengubah negara-negaranya menjadi Islam, menyatukannya dengan negeri muslimin yang lain”, begitu salah satu bentuk narasi yang mereka galakkan.

Bahkan narasi tersebut dikaitkan dengan hadits Rasulullah Saw: “Demi Allah, seandainya mereka menaruh matahari di tagan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan urusan ini, aku tidak akan meninggalkannya, sampai Allah memenangkannya atau aku mati di dalam memperjuangkannya (Hadis no.909)”.

Padahal antara teks hadist tersebut dengan konteks saat ini tidak berkaitan sama sekali, bahkan beberap hadist yang dimunculkan mereka merupakan hadist yang maudu’. Upaya mereka ini merupakan wujud propaganda khilafahisme yang dipaksakan.

Pada dasarnya sebagai warga muslim tidak usah terlalu berbangga diri dengan diakuinya kembali Masjid Hagia Sophia, pun demikian pula dengan warga Kristen tidak perlu merasa marah dan kecewa. Perlunya kesadaran bahwa hal ini merupakan wujud dari kebijakan politik Erdogan sebagai Presiden Turki. Apalagi dengan penggiringan narasi serta opini bahwa akan munculnya kebangkitan Islam.

Dalam hal ini, apakah kemudian dengan dikonversinya Hagia Sophia menjadi masjid merupakan wujud dari Superioritas Islam? Saya rasa tidak. Karena secara kalkulatif-historis, Hagia Sophia merupakan Gereja Basilica Ortodoks yang pernah berjaya selama kurang lebih 900 tahun lamanya.

Sedangkan ketika menjadi Masjid Hagia Sophia telah bertahan selama sekitar 500 tahun. Benang merah dari peristiwa ini adalah toleransi dan persaudaraan kebangsaan di Turki khususnya dan persaudaraan global harus terus dijunjung tinggi.

Sebagaimana di narasi sebelumnya, kita perlu menyikapi bersama. Bahwa sejatinya konversinya Hagia Sophia menjadi Masjid merupakan wujud dari populisme politik Erdogan dan tidak ada kaitannya dengan pendirian Negara Khilafah.

Maraknya isu revivalisme khilfah harus kita counter dengan penguatan narasi bahwa peristiwa tersebut merupakan persoalan sosio-politik Turki. Karena secara basis ideologi pun Erdogan tidak berafiliasi dengan para pengusung Ideologi tersebut.

Untuk itu, persaudaraan Kebangsaan sejatinya sangat penting untuk dirawat di Turki sebagai Negara mayoritas Muslim. Sejak berdirinya banyak Negara berbasis nation-state, itu merupakan wujud dari aktualisasi politik kebangsaan. Dengan demikian, idealnya tidak ada saling dominasi antara kebanggaan agama dengan persaudaraan bangsa, keduanya harus saling berimbang.

Sesuai namanya, Hagia Sophia yang diambil dari istilah Yunani, yang berarti “Holy Wisdom” kebijaksanaan Suci harus menjadi paying bersama semua identitas. Masjid Hagia Sophia diharapkan kedepannya harus mampu mewujudkan kemaslahatan dalam balutan persaudaraan kebangsaan.

Hagia Sophia bukan merupakan wujud dari revivalisme Khilafah, tetapi ia adalah milik peradaban manusia yang telah diwariskan oleh sejarah.

 

Cahaya yang kau lewatkan

  Andai saja aku biarkan mata ini terjaga agar bisa menyambutmu kedatanganmu, apakah hal tersebut akan menjadi suatu kebahagiaan untukmu? Te...