Sejarah Penetapan Penanggalan Tahun Hijriyah
Saat ini kita berada
di penghujung bulan Dzulhijah; bulan ke 12 dari kalender hijriyah. Beberapa
hari lagi kita akan memasuki tahun baru hijriyah. Moment yang sangat pas untuk
mempelajari kembali sejarah penetapan penanggalan hijriyah.
Kalender hijriyah
adalah penanggalan rabani yang menjadi acuan dalam hukum-hukum Islam. Seperti
haji, puasa, haul zakat, ‘idah thalaq dan lain sebagainya. Dengan menjadikan
hilal sebagai acuan awal bulan. Sebagaimana disinggung dalam firman Allah
ta’ala,
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ ۖ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ
لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ ۗ َ
“Orang-orang
bertanya kepadamu tentang hilal. Wahai Muhammad katakanlah: “Hilal itu adalah
tanda waktu untuk kepentingan manusia dan badi haji.”(QS. Al-Baqarah: 189)
Sebelum penanggalan
hijriyah ditetapkan, masyarakat Arab dahulu menjadikan peristiwa-peristiwa
besar sebagai acuan tahun. Tahun renovasi Ka’bah misalnya, karena pada tahun
tersebut, Ka’bah direnovasi ulang akibat banjir. Tahun fijar, karena saat itu
terjadi perang fijar. Tahun fiil (gajah), karena saat itu terjadi penyerbuan
Ka’bah oleh pasukan bergajah. Oleh karena itu kita mengenal tahun kelahiran
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam dengan istilah tahun fiil/tahun gajah.
Terkadang mereka juga menggunakan tahun kematian seorang tokoh sebagai patokan,
misal 7 tahun sepeninggal Ka’ab bin Luai.” Untuk acuan bulan, mereka
menggunakan sistem bulan qomariyah (penetapan awal bulan berdasarkan fase-fase
bulan)
Sistem penanggalan
seperti ini berlanjut sampai ke masa Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam dan
khalifah Abu Bakr Ash-Sidiq radhiyallahu’anhu. Barulah di masa khalifah Umar
bin Khatab radhiyallahu’anhu, ditetapkan kalender hijriyah yang menjadi pedoman
penanggalan bagi kaum muslimin.
Latar Belakang Penanggalan
Berawal dari
surat-surat tak bertanggal, yang diterima Abu Musa Al-Asy-‘Ari
radhiyahullahu’anhu; sebagai gubernur Basrah kala itu, dari khalifah Umar bin
Khatab. Abu Musa mengeluhkan surat-surat tersebut kepada Sang Khalifah melalui
sepucuk surat,
إنه يأتينا منك كتب ليس لها تاريخ
“Telah sampai kepada
kami surat-surat dari Anda, tanpa tanggal.”
Dalam riwayat lain
disebutkan,
إنَّه يأتينا مِن أمير المؤمنين كُتبٌ، فلا نَدري على
أيٍّ نعمَل، وقد قرأْنا كتابًا محلُّه شعبان، فلا ندري أهو الذي نحن فيه أم الماضي
“Telah sampai kepada
kami surat-surat dari Amirul Mukminin, namun kami tidak tau apa yang harus kami
perbuat terhadap surat-surat itu. Kami telah membaca salah satu surat yang
dikirim di bulan Sya’ban. Kami tidak tahu apakah Sya’ban tahun ini ataukah
tahun kemarin.”
Karena kejadian inilah kemudian Umar bin Khatab mengajak para sahabat untuk
bermusyawarah; menentukan kalender yang nantinya menjadi acuan penanggalan bagi
kaum muslimin.
Penetapan Patokan Tahun
Dalam musyawarah
Khalifah Umar bin Khatab dan para sahabat, muncul beberapa usulan mengenai
patokan awal tahun.
Ada yang mengusulkan
penanggalan dimulai dari tahun diutus Nabi shallallahu’alaihiwasallam. Sebagian
lagi mengusulkan agar penanggalan dibuat sesuai dengan kalender Romawi, yang
mana mereka memulai hitungan penanggalan dari masa raja Iskandar (Alexander).
Yang lain mengusulkan, dimulai dari tahun hijrahnya Nabi
shallallahu’alaihiwasalam ke kota Madinah. Usulan ini disampaikan oleh sahabat
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu. Hati Umar bin Khatab radhiyallahu’anhu
ternyata condong kepada usulan ke dua ini,
الهجرة فرقت بين الحق والباطل فأرخوا بها
” Peristiwa Hijrah
menjadi pemisah antara yang benar dan yang batil. Jadikanlah ia sebagai patokan
penanggalan.” Kata Umar bin Khatab radhiyallahu’anhu mengutarakan alasan.
Akhirnya para
sahabatpun sepakat untuk menjadikan peristiwa hijrah sebagai acuan tahun.
Landasan mereka adalah firman Allah ta’ala,
لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَىٰ مِنْ أَوَّلِ
يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيه َ
Sesungguhnya
mesjid yang didirikan atas dasar takwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah
lebih patut kamu sholat di dalamnya. (QS. At-Taubah:108)
Para sahabat memahami
makna “sejak hari pertama” dalam ayat, adalah hari pertama kedatangan hijrahnya
Nabi. Sehingga moment tersebut pantas dijadikan acuan awal tahun kalender
hijriyah.
Al Hafidz Ibnu Hajar
Al-Asqalani rahimahillah dalam Fathul Bari menyatakan,
وأفاد السهيلي أن الصحابة أخذوا التاريخ بالهجرة من قوله
تعالى : لمسجد أسس على التقوى من أول يوم لأنه من المعلوم أنه ليس أول الأيام
مطلقا ، فتعين أنه أضيف إلى شيء مضمر وهو أول الزمن الذي عز فيه الإسلام ، وعبد
فيه النبي – صلى الله عليه وسلم – ربه آمنا ، وابتدأ بناء المسجد ، فوافق رأي
الصحابة ابتداء التاريخ من ذلك اليوم ، وفهمنا من فعلهم أن قوله تعالى من أول يوم
أنه أول أيام التاريخ الإسلامي ، كذا قال ، والمتبادر أن معنى قوله : من أول يوم
أي دخل فيه النبي – صلى الله عليه وسلم – وأصحابه المدينة والله أعلم .
“Dan As-Suhaili
memberikan tambahan informasi: para sahabat sepakat menjadikan peristiwa hijrah
sebagai patokan penanggalan, karena merujuk kepada firman Allah Ta’ala,
لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَىٰ مِنْ أَوَّلِ
يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيه َ
“Sesungguhnya
masjid yang didirikan atas dasar takwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah
lebih patut kamu sholat di dalamnya.” (QS. At-Taubah: 108)
Sudah suatu hal yang
maklum; maksud hari pertama (dalam ayat ini) bukan berarti tak menunjuk pada
hari tertentu. Nampak jelas ia dinisbatkan pada sesuatu yang tidak tersebut
dalam ayat. Yaitu hari pertama kemuliaan islam. Hari pertama Nabi
shallallahu’alaihiwasallam bisa menyembah Rabnya dengan rasa aman. Hari pertama
dibangunnya masjid (red. masjid pertama dalam peradaban Islam, yaitu masjid
Quba). Karena alasan inilah, para sahabat sepakat untuk menjadikan hari
tersebut sebagai patokan penanggalan.
Dari keputusan para
sahabat tersebut, kita bisa memahami, maksud “sejak hari pertama” (dalam ayat)
adalah, hari pertama dimulainya penanggalan umat Islam. Demikian kata beliau.
Dan telah diketahui bahwa makna firman Allah ta’ala: min awwali yaumin (sejak
hari pertama) adalah, hari pertama masuknya Nabi shallallahu’alaihiwasallam dan
para sahabatnya ke kota Madinah.
. Allahua’lam. ” (Fathul Bari, 7/335)
Sebenarnya ada
opsi-opsi lain mengenai acuan tahun, yaitu tahun kelahiran atau wafatnya Nabi
shallallahu’alaihiwasallam. Namun mengapa dua opsi ini tidak dipilih? Ibnu
Hajar rahimahullah menjelaskan alasannya,”
لأن المولد والمبعث لا يخلو واحد منهما من النزاع في
تعيين السنة ، وأما وقت الوفاة فأعرضوا عنه لما توقع بذكره من الأسف عليه ، فانحصر
في الهجرة ، .
“Karena tahun
kelahiran dan tahun diutusnya beliau menjadi Nabi, belum diketahui secara
pasti. Adapun tahun wafat beliau, para sahabat tidak memilihnya karena akan
menyebabkan kesedihan manakala teringat tahun itu. Oleh karena itu ditetapkan
peristiwa hijrah sebagai acuan tahun.” (Fathul Bari, 7/335)
Alasan lain mengapa
tidak menjadikan tahun kelahiran Nabi shallallahu’alaihiwasallam sebagai acuan;
karena dalam hal tersebut terdapat unsur menyerupai kalender Nashrani. Yang
mana mereka menjadikan tahun kelahiran Nabi Isa sebagai acuan.
Dan tidak menjadikan
tahun wafatnya Nabi shallallahu’alaihiwasallam
sebagai acuan, karena dalam hal tersebut terdapat unsur tasyabuh dengan orang
Persia (majusi). Mereka menjadikan tahun kematian raja mereka sebagai acuan
penanggalan.
Penentuan Bulan
Perbincangan berlanjut
seputar penentuan awal bulan kalender hijriyah. Sebagian sahabat mengusulkan
bulan Ramadhan. Sahabat Umar bin Khatab dan Ustman bin Affan mengusulkan bulan
Muharram.
بل بالمحرم فإنه منصرف الناس من حجهم
“Sebaiknya dimulai
bulan Muharam. Karena pada bulan itu orang-orang usai melakukan ibadah haji.”
Kata Umar bin Khatab radhiyallahu’anhu.
Akhirnya para sahabatpun sepakat.
Alasan lain dipilihnya
bulan muharam sebagai awal bulan diutarakan oleh Ibnu Hajar rahimahullah,
لأن ابتداء العزم على الهجرة كان في المحرم ؛ إذ البيعة
وقعت في أثناء ذي الحجة وهي مقدمة الهجرة ، فكان أول هلال استهل بعد البيعة والعزم
على الهجرة هلال المحرم فناسب أن يجعل مبتدأ ، وهذا أقوى ما وقفت عليه من مناسبة
الابتداء بالمحرم
“Karena tekad untuk
melakukan hijrah terjadi pada bulan muharam. Dimana baiat terjadi dipertengahan
bulan Dzulhijah (bulan sebelum muharom).
Dari peristiwa baiat itulah awal mula hijrah. Bisa dikatakan hilal pertama setelah
peristiwa bai’at adalah hilal bulan muharam, serta tekad untuk berhijrah juga
terjadi pada hilal bulan muharam (red. awal bulan muharam). Karena inilah
muharam layak dijadikan awal bulan. Ini alasan paling kuat mengapa dipilih
bulan muharam.” (Fathul Bari, 7/335)
Dari musyarah
tersebut, ditentukanlah sistem penanggalan untuk kaum muslimin, yang berlaku
hingga hari ini. Dengan menjadikan peristiwa hijrah sebagai acuan tahun dan
bulan muharam sebagai awal bulan. Oleh karena itu kalender ini populer dengan
istilah kalender hijriyah.
Ada beberapa pelajaran
yang bisa kita petik dari kisah penanggalan hijriyah di atas:
1.
Kalender hijriyah
ditetapkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para sahabat. Dan kita tahu bahwa
ijma’ merupakan dalil qot’i yang diakui dalam Islam.
2.
Sistem penanggalan
yang dipakai oleh para sahabat adalah bulan qomariyah. Hal ini diketahui dari
surat Umar bin Khatab yang ditulis untuk Abu Musa Al-Asy-‘ariy; di situ
tertulis bulan sya’ban, hanya saja tidak diketahui tahunnya.
3.
Para sahabat menjadikan
kalender hijriyah sebagai acuan penanggalan dalam segala urusan kehidupan
mereka; baik urusan ibadah maupun dunia. Sehingga memisahkan penggunaan
kalender hijriyah, antara urusan ibadah dan urusan dunia, adalah tindakan yang
menyelisihi konsesus para sahabat. Seyogyanya bagi seorang muslim, menjadikan
kalender hijriyah sebagai acuan penanggalan dalam kesehariannya.
4.
Kalender hijriyah
merupakan syi’ar Islam, yang menbedakannya dengan agama-agama lainnya.
Demikian yang bisa
kami sampaikan. Allahu ta’ala a’lam bis showab.
Wa
shallallahu ‘ala nabiyyina muhammad, wa’ala aalihi wa shahbihi wa sallam.
(Simak pembahasan
masalah ini di kitab Fathul Baari 7/335-336, Bidayah wan Nihayah
3/206, Al-i’laam bi At-tauwbikh li man Dzammu At-taarikh, karya Asy-Syakhowi
hal. 78)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar