![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhv3UEW0aJsT4s-z5K-JBDM5ux2scOpzObqzXd9ldlPJB3WWoidUVK2m2YBuVL_LIzrMUKe7E3ZnS7cuyWWOsiwv-KK3-cQwx_dBrqhAq6Fw8V0wa896LB7rYVHBAzDCACMdLvC2ctKgzc/s320/to57uf88.jpg)
Andai saja batu-batu yang terlempar itu sanggup
menyuarakan haknya kepada manusia yang sesukanya sendiri melempar-lemparkan
dirinya sebagai senjata untuk melukai manusia lainnya, apakah batu-batu yang
berserakan di jalanan itu juga akan melakukan hal yang serupa kepada pemimpin
mereka untuk sedikit saja membalas perlakukan manusia? Atau mungkin menangis,
merintih, atau meratapi?
Apakah diri sudah merasa cukup adil
sehingga tak terbesit sedikit pun rasa pakewuh atau apapun ketika menuntut
keadilan? Apakah kita merasa kuat hingga serasa mendapat mandat untuk membela
kaum dlu'afa?
Di masa lalu, kaum yang dilemahkan itu
jelas, tapi jika kita menerapkan dimensi ruang dan waktu, apakah kita
benar-benar mengerti siapa kaum-kaum dlu'afa itu di masa kini? Apakah dlu'afa
dan fakir/miskin memiliki kesamaan makna?
DI zaman sekarang, kita sering salah
sangka terhadap mereka yang nampak biasa-biasa saja, baik cara berpakaiannya,
kebiasaan hidupnya, bahkan tempat tinggalnya yang nampak akan rubuh, akan
tetapi mereka sama sekali tidak memiliki beban hutang sama sekali.
Berbeda dengan mereka yang terbiasa hidup glamour dengan pakaiannya yang
ber-merk, hidup seperti istana, akan tetapi nominal beban hutang yang
ditanggungnya mungkin mencapai sejumlah angka yang sulit dibayangkan.
Orang suka berdalih mencari rejeki
berupa materi sebanyak-banyaknya supaya dapat bersedekah lebih banyak. Tapi apa
Tuhan menciptakan sesuatu berupa rejeki utamanya hanya hal untuk dicari?
Sedangkan Dia sudah pasti memberi kecukupan rejeki pada apapun yang Dia ciptakan.
Dia Maha Menghitung, hanya saja
keterbatasan cara pandang dan berpiir kita justru sering membuat kita curiga
terhadap ke-Maha Keadilan-Nya.
Kita tidak perlu bersusah payah mencari
bukti atas dalih pencarian tersebut, untuk memilah prioritas antara keinginan
dan kebutuhan pun diri sendiri masih nampak kebingungan, terlebih untuk
membagi-bagikannya.
Dan keadaan yang terjadi belakangan
ini, itu hanya nampak seperti semakin terbatasnya probabilitas
keinginan-keinginan tiap individu untuk dapat diwujudkan sehingga mereka
mencari kawan untuk melampiaskan amarah kepada para penguasa.
Ya, hiburan paling menyenangkan adalah
melampiaskan amarah atas ketidakberdayaan dirinya dengan cara mencari kambing
hitam atas segala ketidaknyamanan keadaan yang sedang dialami. Selain
menyenangkan, hiburan ini juga bisa dibilang ekonomis. Sebenarnya kita ini
kuat, kenapa mesti merasa dilemahkan?
Jangan sampai kekayaan ilmu yang
dimiliki justru membuat diri lupa untuk berendah hati. Jangan sampai kekuatan
yang dimiliki menjadikan diri angkuh dan merasa sanggup mengatasi segala
permasalahan.
Jangan sampai
kealiman diri melalaikan diri sehingga merasa dekat dan selalu dibela oleh
Tuhan. Keserakahan akhirnya memakan dirinya sendiri. Dan berhati-hatlah agar
tidak termasuk orang yang lalai dalam sholatnya.
Namun,
kata-kata yang tertulis ini tak lantas berniat meghilangkan ketulusan yang
sudah dan sedang diperjuangkan. Hanya saja kita perlu menghitung kembali
langkah dan kapasitas, sudahkah kita siap? Atau nantinya hanya akan menimbulkan
chaos dan merepotkan pihak-pihak yang memiliki tugas membereskan permasalahan
yang kita ciptakan.
Untuk
menjadi ummatan
wasathon, atau kaum penengah pun ternyata tidak mudah. Bahkan,
dilirik pun tidak karena sudah tak ada sisi menariknya sama sekali untuk
menjadi kaum penengah di zaman yang serba-serbi menawarkan pelampiasan. Mereka
menjadi tidak terlalu berhasrat untuk kemenangan dan mereka pun tidak terlalu
menggubris kekalahan.
Yang
mereka takutkan bukan kekalahan tapi justru kemenangan yang bisa menjadikan
dirinya terlena. Yang mereka takutkan bukan kesalahan, melainkan kebenaran yang
sedang dialaminya hanya sebuah bentuk ujian atau hukuman.
Dan mereka takut bukan karena keinginan atau harapannya tidak tercapai. Akan
tetapi mereka lebih takut jika mereka tidak diberi keselamatan di dalam
kehidupan berikutnya.
Seperti batu-batu
yang tak sengaja sering kita jadikan sebagai senjata tindakan anarkis, awalnya
mereka terdiam menangisi diri mereka sendiri larut dalam doanya. Karena
mendapat kabar bahwa bahan bakar dari api neraka adalah para manusia dan
bebatuan.
Akan
tetapi, setelah batu itu dilempar oleh tangan-tangan manusia, mereka justru
menangis lebih keras. Bukan karena sakit atau kecewa, ternyata rasa syukur
telah menanungi mereka, hingga akhirnya Tuhan tidak menjadikannya salah satu
dari batu-batu yang berada di neraka.
Maihkah
batu tersebut tidak membuat kita berpikir?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar