Alkisah ada seorang santri yang telah menyelesaikan pendidikannya di sebuah Pondok Pesantren. Beberapa hari menjelang kepulangannya ke kampung halamannya, santri tersebut dipanggil oleh Kiai pengasuh pondok pesantren itu.
Dengan
tergopoh-gopoh ia mendatangi kediaman Kiainya. Dengan penuh takzim, ia
menghaturkan salam kepada Sang Kiai.
“Assalamu'alaikum, pak yai. ngapunten, enten npo ?, panjenengan manggil
kulo ?” (Ada apakah gerangan saya dipanggil menghadap Kiai)”, ucap Santri itu
kritikan sudah berada di hadapan Kiai.
“Waalaikumsalam.
meneo ndo ” (Kemarilah anakku)” Jawab Sang Kiai. “Engkau telah 15 tahun mondok
di sini. Ketika orang tuamu membawamu kesini, usiamu baru menginjak 7 tahun”
sambung Sang Kiyai. Kini engkau sudah mengkhatamkan seluruh pelajaran. Saatnya
pulang. Kembali ke kampung halamanmu untuk mengamalkan ilmu yang sudah Kau
dapatkan di sini”.
“Leres Kiai, saya sudah menyelesaikan semua pelajaran dan saya hendak pamit
pulang”. Kata si Santri. “Adakah pesan dan amanat untuk saya, Kiai. Agar saya
bisa mengamalkan ilmu yang saya peroleh dengan sebaik-baiknya”. Sambung Santri
itu.
“Engkau
adalah salah satu santri terbaik di pondok ini. Sebelum Engkau pergi dari
pondok ini, aku ingin engkau melakukan satu tugas terakhir”. “Carilah seseorang
atau makhluk hidup lain, yang menurut engkau lebih buruk dari dirimu”. Sang
Kiai melanjutkan perintahnya : “waktumu 3 hari untuk melaksanakan tugas itu.
Kembalilah sebelum waktu 3 hari itu berakhir”
Maka berangkatlah Santri itu untuk melaksanakan tugas terakhir itu. Ia terus
berjalan meninggalkan komplek pesantren, menyusuri jalan, melintasi
perkampungan. Sampai pada satu ketika ia bertemu dengan seorang pemabuk. Kepada
penduduk di sekitarnya ia bertanya siapakah pemabuk itu itu.
Penduduk yang ditemuinya menjelaskan pemabuk itu pekerjaan sehari-harinya
“malak”, memajaki para pedagang di pasar dan para pengemudi angkot di terminal.
Celakanya, kata penduduk itu, uang yang didapatnya dari hasil malak itu hanya
digunakan untuk mabuk-mabukan, judi dan main perempuan.
Santri itu senang, ia merasa sudah menemukan orang yang lebih buruk dari
dirinya. Ia merasa, pekerjaannya sehari-hari selama 15 tahun mondok hanya
mengaji kitab-kitab dan beribadah seperti yang diajarkan guru-guru dan
kiainya.
Dia tidak pernah punya masalah
dengan santri-santri lainnya, karena ia senantiasa berusaha menjalankan
akhlakul karimah dalam kesahariannya. Tidak ada iri dengki dalam hatinya.
Karena itulah
ia merasa laki-laki pemabuk itu tentulah lebih buruk dari dirinya.
Maka berjalanlah ia menuju pondok pesantren untuk melaporkan tugasnya kepada
Kiai. Namun menjelang gerbang pondok ia berhenti.
Ia terduduk
di samping gerbang pesantren ia merenung, berpikir, apakah benar si pemabuk itu
lebih buruk dari dirinya. Betul saat ini si pemabuk itu buruk perilakunya, juga
cara mendapatkan uang. Tapi apakah akan selamanya seperti itu ? Bukankah Alloh
itu Maha Membolak-balikan hati, memberi hidayah kepada siapapun hang with
dikehendakiNYA Kalau sudah begitu bisa saja akhir si pemabuk itu akan husnul
khotimah (akhir yang baik).
Tapi dirinya ? Santri itu bertanya pada dirinya sendiri. Sekarang dia orang
yang baik. Tapi setelah dia terjun di masyarakat, bisakah selamat dari aneka
godaan ? Apakah tidak mungkin justru akhir dari dirinya adalah suul khotimah
(akhir yang buruk).
Sadarlah dia,
bahwa si pemabuk bukanlah orang yang lebih buruk dari dirinya. Maka bangkitlah
dia dari duduknya. Ia kembali berjalan menjauhi gerbang pesantren untuk sekali
lagi mencari yang lebih buruk dari dirinya.
Ia terus berjalan, sampai kemudian menemukan seekor anjing sakit, tergeletak di
pinggir jalan. Badannya penuh borok, dari mulut dan hidungnya lendir meleleh.
Dicarinya karung untuk membawa anjing itu ke pesantren untuk disetorkan kepada
Kiai sebagai bukti ia telah menemukan makhluk yang lebih buruk dari dirinya.
Dipanggulnya
anjing sakit yg sudah ada di dalam karung. Ia berjalan dan ketika sampai di
depan gerbang pesantren ia kembali menghentikan langkahnya. Dikeluarkannya anjing
dari karung, kemudian ditatapnya dengan seksama.
Benarkah anjing itu lebih buruk dari dirinya ? Pikir Santri itu. Benar saat ini
anjing itu sakit, badanya penuh borok, sebentar lagi mungkin mati. Tapi ketika
anjing itu mati, anjing itu terbebas dari hisab (perhitungan). Ia tidak akan
dimintai pertanggungjawaban atas apa yang telah dilakukannya selama hidup.
Sedangkan
dirinya, tak akan bisa menghindar dari hisab dan hari pembalasan. Sekecil
apapun tindakan dan perilakunya selama hidup di dunia ia akan dimintai
pertanggungjawaban.
Sadarlah ia,
anjing itu bukan makhluk yang kebih buruk dari dirinya.
Ia kemudian
berjalan dengan mantap melewati gerbang pesantren untuk menemui kiainya.
Sang Kiai
bertanya, sudahkah ia menemukan orang lain atau makhluk lain yang lebih buruk
dari dirinya. Kepada Kiainya, Santri itu berkata : “ngapunten yai, anu..
langkung ala saking kulo, ternyata awake kulo piambek” (Mohon maaf, Romo Yai, yang lebih buruk dari diri saya ternyata
diri saya sendiri).
Dengan
tatapan penuh kasih sayang kepada santrinya, Sang Kiai berkata : “Janganlah engkau merasa menjadi orang yang
paling baik. Karena orang lain atau makhluk hidup lain yang kau anggap lebih
buruk dari dirimu belum tentu benar-benar lebih buruk dari dirimu. Jauhilah sifat
merasa diri paling baik, karena itu bagian dari kesombongan”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar