Selasa, 10 November 2020

Cahaya yang kau lewatkan

 


Andai saja aku biarkan mata ini terjaga agar bisa menyambutmu kedatanganmu, apakah hal tersebut akan menjadi suatu kebahagiaan untukmu? Terlebih hal itu sudah menjadi hal biasa yang terlihat, tentu akan semakin memperbesar potensi kebosanan. Bahkan siang dan malam pun selalu memberikan suasana yang berbeda di setiap kepergian ataupun kedatangannya. Terutama bagi para penikmat kemesraannya.

Engkau mungkin telah diberkahi dengan mahkota emas, dengan rambut ikalnya yang lebih menarik. Akan tetapi jika aku hanya terpaku kepada paras nan menawan itu. Atau andai saja aku tertuju pada mahkota emas itu, mungkin tatap, senyum, ataupun kehangatan yang selalu kau beri sudah tak lagi menjadi arti. Dan akan sangat mungkin segala kata-kata yang terangkai ini telah terputus.

Engkau sudah pasti mengenalku, tentang bagaimana banyaknya sikap menahan diri pada akhirnya mengajarkan akan kekosongan. Meskipun tidak pernah terbesit sama sekali pengalaman-pengalaman itu banyak memberiku pelajaran sejak kecil. Hingga ketaatan ataupun kemandirian bukan lagi sesuatu yang perlu dibanggakan. Karena justru kekosongan itu yang lebih melekat dan layak untuk dirindukan.

Mungkin saja ia telah banyak membersamaiku dalam kesabaran, seolah ia pun enggan menggantikan sesuatu apapun selain dirinya, terlebih untuk dirimu. Oleh karena itu, aku tetap menyimpan motivasi-motivasi kejahatan, agar aku masih tetap bisa menjaga kebaikan kepadamu. Aku tidak akan berhenti berprasangka kepadamu, agar aku tidak berhenti untuk selalu menahan diri. Apalagi demi cinta yang masih begitu banyak mengharapkan balas darimu.

Aku mungkin akan kehilangan bahagia dan memilih untuk berduka atas segala kemungkinan jika aku melewatkan keindahan sapaanmu. Namun, bukankah syarat datangnya bahagia justru harus ada duka lara? Begitupu sebaliknya. Karena kedua hal tersebut merupakan satu kesatuan yang banyak terlihat darimu. Hingga aku mendapatkan keindahan yang merdeka atas segala hal, terutama jika hal tersebut menyangkut apapun tentang dirimu.

Suatu saat, dirimu pasti akan menemukan satu waktu ketika hanya melihat duri yang tumbuh atau bahkan mungkin segala bentuk najis mengerumuni diriku. Hal-hal seperti itu akan menghentikan langkahmu untuk mendekat kepadaku. Jika tempat yang penuh duri dan kehinaan itu merupakan dinding rumahku, jangankan untuk masuk, sekedar menyentuhnya pun engkau pasti akan ketakutan.

Bagaimana mungkin mahkota emas akan menyandingkan diri dengan kehinaan yang jelas-jelas tampak? Sedangkan aku sama sekali tak terpengaruh oleh penglihatan-penglihatan tentang sesuatu yang menjadi dinding rumahku. Bahkan ketika engkau berkata sesuatu yang buruk tentang selimut atau dinding rumahku, kenapa aku mesti marah? Sedangkan itu satu-satunya syarat menuju jalan pintu kebahagiaan denganku.

Aku bagaikan pembunuh yang sama sekali tidak memiliki empati ataupun simpati karena selalu dapat menikmati prasangka mereka dengan canda tawa. Mungkin saja aku memiliki banyak musuh yang mereka tidak memiliki syarat apapun untuk dapat mengutukku. Atau mereka justru menghancurkan dirinya sendiri dengan banyak menghindar dari pandanganku.

Hanya engkau yang benar-benar mengenalku yang mampu menembus dinding rumah itu tanpa prasangka apapun. Hanya mereka yang banyak menahan diri dalam keterasingan atau kekosongan yang mampu membuka hijab-hijab kehinaan yang menyelimuti. Dan hanya engkau yang benar-benar terpilih yang akan terus meneruskan langkah.

Cinta bukanlah sesuatu yang mesti didapatkan. Cinta merupakan sesuatu ketika dengannya engkau akan selalu rela untuk memberi tanpa mengharap balas. Rindu bukanlah sesuatu yang menjadikanmu lantas ingin segera bertemu, kecuali ia akan menjadikanmu semakin candu tanpa harus memadu.

Kasih, coba perhatikan kembali, adakah cahaya itu engkau lewatkan? Sedang engkau sendiri tahu, bahwa waktu banyak memberi ruang kita bersama dalam kekosongan asa, bahkan mengikat dalam tali kemesraan yang fana. Atau haruskah aku merayu?

 

 

Sabtu, 07 November 2020

Revolusi diri


Perubahan yang besar dimulai dari perubahan yang kecil.
 Dimulai dari perubahan diri, keluarga, lingkungan sekitar sampai lingkungan yang lebih besar, negara bahkan dunia.

Revolusi diri bisa dimulai dari :

1.    Revolusi Iman

a)   Introspeksi diri, sadari bahwa kita makhluk yang lemah, butuh sandaran pada Yang Maha Segalanya.

b)   Sadari diri, bahwa godaan dunia begitu amat dahsyatnya. Tanpa berpegang pada ajaran agama,  kita akan hanyut pada gemerlap dunia sehingga bahagia dunia akhirat akan sulit kita raih, atau dunia dapat kita raih tetapi akhirat tidak.

c)  Sebagai konsekwensi dari dua hal diatas dan juga sebagai rasa syukur kita, maka kita jalankan perintah dan jauhi laranganNya.

 

2.    Revolusi Sikap dan Cara Berpikir

a)   Rubah sikap malas jadi rajin, ragu jadi yakin, pesimis jadi optimis, gosip jadi introspeksi diri, menunda jadi menjalankan, buruk sangka jadi baik sangka.

b)   Sibuk merubah diri bukan sibuk mengurusi orang lain.

c)   Buang jauh-jauh penyakit hati, karena penyakit hati akan mempengaruhi pola pikir kita, bahkan merusaknya sehingga kita tak dapat berfikir jernih. Bukankah otak sebagai pengendali seluruh organ tubuh, termasuk perilaku, cara bersikap dan cara berfikir? Perilaku kita adalah cerminan dari cara berfikir kita.

d)   Menimbang dahulu sebelum melakukan sesuatu, apa untung dan ruginya bagi kita.

e)   Jadikan contoh orang-orang yang telah lebih dulu sukses dan belajar dari mereka. Mereka bisa sukses, maka kitapun pasti juga bisa. Asalkan terus berusaha dan berdoa. Tak ada kata gagal, yang ada adalah sukses atau belajar (Dikutip dari Tung Desem Waringin).

 

3.    Revolusi Waktu

a)     Tiap detik sangat bernilai, karena waktu yang telah lewat takkan kembali.

b)     Tanamkan sikap, hari ini harus lebih baik dari hari kemarin, agar kita menjadi orang   yang beruntung.

c)     Pelajari cara mengelola waktu dengan baik, jalankan dan patuhi, jadikan kebiasaan   agar kita menjadi bisa dan biasa sehingga akan jadi budaya. Manusia adalah budak dari kebiasaan (Dikutip dari Tung Desem Waringin).

d)     Tanamkan dalam diri “Setiap detik yang kita habiskan akan dipertanggung jawabkan di hadapan Sang Pemilik Waktu".

 

4.    Revolusi Kesehatan

A.   Kesehatan Jasmani :

a)   Menganut pola hidup sehat, tidak merokok, tidak minum alkohol.

b)   Makan makanan yang berimbang dan tidak berlebihan, hindari junk food.

c) Hindari mengkonsumsi makanan dan minuman yang mengandung bahan-bahan kimia.

d) Sedapat mungkin hindari penggunaan obat kimia dikala sakit, utamakan penggunaanbahan-bahan alami.

e)  Mengelola waktu makan dengan baik, tidak makan sebelum lapar, berhenti makan sebelum kenyang.

f)     Jadikan puasa sebagai kebiasaan yang baik untuk menunjang kesehatan.

g)   Rajin berolahraga dan istirahat yang cukup.

h) Selalu berfikir positif , bersyukur kala mendapat nikmat dan bersabar dikala mendapat ujian.

 

B.    Kesehatan Ruhani :

a) Bukan hanya kesehatan jasmani yang penting, tak kalah penting adalah kesehatan ruhani. Ruhani butuh makanan, sebagaimana jasmani membutuhkannya. Semua mesti seimbang. Penuhi kesehatan ruhani dengan banyak berzikir (mengingat Allah) membaca kalamNya, yang tersirat dan yang tersurat, dan mengamalkan ilmu, berbagi rizki dengan orang lain.

 

5.    Revolusi Keuangan

a)    Hidup hemat, cermat dalam mengelola keuangan.

b)    Hindari hidup konsumtif, besar pasak daripada tiang.

c) Pelajari cara mengelola keuangan dengan baik dan aplikasikan, jadikan kebiasaan.

d) Tidak cepat puas dalam memperoleh hasil, sehingga kita akan selalu termotivasi, untuk mendapatkan hasil lebih banyak, lebih baik, lebih berkah.

e)    Hindari cara-cara haram dalam menjemput rizki, apalah artinya banyak harta tapi tidak berkah, hanya akan membawa kesulitan nantinya.

f)      Pelajari cara-cara mendapatkan penghasilan tambahan dari banyak sumber, buku, internet dan belajar dari orang yang telah sukses.

g)  Jika telah sukses, ingat selalu untuk berbagi dengan sesama, berbagi ilmu sukses, berbagi rizki agar apa yang telah kita raih membawa keberkahan dan dapat bermanfaat untuk orang banyak.

 

Setiap kita tentu ingin hidup  lebih baik, dari semua segi tentunya. Pangkal dari perubahan diri adalah hubungan yang baik, mesra dengan pemilik alam semesta. Karena dengan mengenal Tuhannya, manusia akan mengenal dirinya. Karena kita akan selalu dibimbing di jalanNya, setiap usahanya akan membawa kemaslahatan bagi sesama, lingkungan dan alam sekitar.

 

Yang bisa merubah diri kita, adalah diri kita sendiri, bukan orang lain. Motivasi  diri sendirilah yang terbaik, bukan motivasi dari luar yang sifatnya sementara. Kalau kita tak mau berubaih, walau tiap hari mendengar siaran dari motivator terkenal, hasilnya nol besar. Tetapi jika diri kita yang sudah punya niatan kuat untuk berubah, dibarengi ikhtiar yang sungguh-sungguh dan juga doa yang tiada terputus (doa kita dan doa orang tua tentunya), maka hasilnya akan sukses.

Karena itu saudaraku, mari kita merubah diri, sebagai wujud rasa syukur kita kepadaNya agar kita menjadi manusia yang beruntung, punya masa depan gemilang. Agar kita bisa menjadi contoh, sekaligus menjadi agen perubahan.

 

Ingatlah firman Allah dalam Surat Al Ashr (S:103:1-2)

103:1. Demi masa.

103:2. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian,

103:3. kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.

 

Jadikan diri kita bermanfaat untuk keluarga, lingkungan dan orang banyak, karena sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain (Nabi Muhammad SAW). Dan jadikanlah masa lalu menjadi pelajaran berharga, karena setiap kejadian membawa hikmah tersendiri bagi orang-orang yang mau mengambil pelajaran.

 

Rabu, 28 Oktober 2020

ANDAI AKU TAK ADA

 

Tambahkan teks

Akan ada sesuatu yang dinasakhkan atau digantikan ketika diri ini tiada. Bahkan ayat-ayat yang hilang dari kata-kata pun akan tergantikan dengan sesuatu yang lain. Tidak ada kekhawatiran ataupun kesedihan. 

Kalaupun ada, hal itu akan terjadi seperti kebahagiaan yang biasa kita rasakan. Semua hanya akan berlalu layaknya sambaran kilat. Sekejap dalam rentang satuan waktu hidup yang begitu panjang.

Pekerjaan atau kebiasaan yang biasa kulakukan, akan mampu digantikan dengan seseorang yang lebih baik. Mencari makna-makna yang tak terlihat ataupun terdengar juga sangat mudah asal memiliki keberanian untuk memetiknya. Terlebih hanya sekedar merangkai makna di sela-sela pekerjaan, sekali duduk sudah pasti jadi.

Dalam ruang-ruang yang sering aku bersembunyi di baliknya, bukan merupakan sebuah urgensi untuk menggantikan ketidakhadiranku dalam ruang itu. Peran yang aku ambil hanya sebagai seorang pendengar yang masih kepo terhadap banyak hal atas kebodohan yang telah menjadi penyakit akut atas diri ini.

Andai aku tidak ada, siang dan malam tetap akan bergantian mengisi waktu sebagaimana mestinya. Kebersamaan ruang itu akan selalu memantik cahaya sebagai prasyarat untuk selalu dipertemukan. 

Gejolak atau prasangka yang selalu aku bawa dan didakwa memisahkan, akan sirna hingga berganti pertumbuhan yang sangat progresif karena telah kehilangan satu beban kebodohan yang sering menyusahkan.

Maaf apabila angin ini terlalu mengusik ketenangan. Maaf apabila angin yang berhembus terlalu kencang sehingga membukakan hijab-hijab yang tidak seharusnya terbuka. 

Benar adanya jika kehadiran angin ini hanya menyebabkan kerusakan kemanapun ia beranjak. Sehingga tidak dapat merangkul mesra cinta-cinta yang telah mendapat ketenangannya.

Tidak ada urgensi sehingga aku harus ada di antara kalian. Selalu tiada tempat untuk berpulang, karena diri yang terlalu mengusik dan bertingkah seenaknya sendiri. Lantas, mengapa engkau menciptakan aku? Jika akhirnya kehinaanku dengan angkuh dan tak tahu diri terlalu berharap untuk dapat bertemu denganmu.

Lalu engkau bertanya, bukankah tidak ada sesuatu yang sia-sia? Itu hanya akan menghiburku sejenak. Karena selalu ada contoh sehingga muncullah makna kata sia-sia. 

Mungkin benar, jika aku menjadi satu dari sekian banyak yang telah banyak melakukan sesuatu yang sia-sia. Akan tetapi, diri selalu merasa telah melakukan kebaikan dan dengan pede mengaku telah banyak mendatangkan manfaat bagi lingkungan sekitarnya.


Andai
 aku tiada, apakah mereka lantas merasa kehilangan? Atau justru syukur yang mereka rasakan atas kepergian sesuatu yang selalu saja menimbulkan kemudharatan. Yang selalu menghadirkan masalah saat keadaan sudah tenang dan baik-baik saja. Yang selalu mencuri perhatian karena kesembronoannya merusak sistem-sistem yang telah dianggap baik-baik saja.

Tapi, andai aku tidak ada, adakah yang mau menggantikan sunyi ini? Adakah yang mau menggantikan cinta ini? Yang selalu mendekap tanpa melihat atau mendengar. Yang lebih dulu rela untuk tiada daripada memaksakan untuk tetap ada.

Sekalipun aku juga dapat melakukan pembelaan karena sesuatu itu terjadi atas ijinmu, dan semua yang telah sia-sia pun menjadi pelajaran bagi yang lain. Sebaik apapun usaha diri mencoba mengambil peran protagonis, tentu Sang Sutradara-lah yang pada akhirnya berhak menentukan.

Dan akan selalu ada peran antagonis agar semuanya menjadi menarik yang lebih banyak menyimpan hikmah. Hingga pada akhirnya semua tertuju kepada keseimbangan.

Andai suatu saat aku benar-benar tidak ada, jangan takut engkau juga akan kehilangan cintaku. Tetapi juga jangan terlalu banyak berharap engkau akan memilikiku karena aku juga bukan siapa-siapa dan sama sekali bukan apa-apa. Kecuali yang memiliki benar-benar telah menggerakkan untuk engkau miliki.

Bagaimana aku ada tanpa tiada? Dan bagaimana aku tiada tanpa sesuatu yang ada?

 

Sabtu, 17 Oktober 2020

GELAP YANG MENGINGATKAN TERANG

 


Hari dan hari terus saja berlalu. Memberikan pelajaran akan pengalaman yang baru saja dilalui dengan nuansa ataupun romansa yang berbeda-beda. Menampakkan gambaran tentang kemalasan atau perjuangan hidup dalam gerak-gerik manusia. 

Yang menyiratkan ketulusan atau kemunafikan demi sesuatu yang dicintai. Dalam naungan semesta yang tak pernah henti menyediakan rahmat di setiap sudut lelah yang sesekali butuh disandarkan.

Manusia membutuhkan dorongan untuk bergerak mencari sesuatu yang sudah menjadi tujuan dalam niat keberangkatannya. Manusia membutuhkan iman sebagai panduan atau pedoman kemana arah kaki akan melangkah. 

Manusia membutuhkan kendaraan raga sebagai alat mobilitas dirinya untuk menapaki sesutau yang ditujunya. Manusia pun dibekali akal dan hati yang nantinya akan berguna untuk menjaga keseimbangan lakunya dalam usahanya memesrai nasib perjalanan hidup di dunia.

Agar tidak terlalu sakit ketika jatuh. Agar tidak terjebak dalam kesombongan ketika mendapatkan keberuntungan. Atau agar tidak terlalu munafik ketika sedang berusaha mencapai sesuatu yang diinginkan dan agar lebih pandai menikmati segala nikmat apapun keadaannya. Bukankah yang penting tidak terlalu membuat Allah murka atas apa yang kita lakukan?

Segala wajah permasalahan tak lain merupakan manifestasi akan wajah Sang Maha Pengasih.  Begitupun segala prasangka manusia yang terucap merupakan salah satu caraNya agar manusia sedikit demi sedikit mengenalNya. 

Ataupun dari kata-kata yang terbaca tak hanya oleh mata, sehingga mencerahkan cakrawala pikiran pandangannya dan menyibakkan sedikit demi sedikit hijab yang selama ini menyelimuti hatinya.

"Manusia tempatnya salah dan lupa" bukan berarti kita sebagai manusia memandang hal tersebut sebagai wahana pembenaran diri. Ataupun sebagai arena kewajaran bahwa diri selalu terkekang oleh permainan kata tersebut. 

Atau lebih parahnya untuk menunjukkan dirinya bahwa ketika melempar kata-kata tersebut, ia merasa sudah bukan lagi manusia pada umumnya. Sehingga bisa menawar firman-firmanNya, atau seolah-olah merasa Tuhan sedang memesrainya.

Kita telah diperkenalkan dengan keadaan mabuk. Atau hilang kendali atas dirinya sendiri. Dan penyebab keadaan mabuk tersebut bukan hanya karena anggur, namun segala sesuatu yang berlebihan memiliki potensi terciptanya kondisi mabuk. Termasuk ilmu yang seringkali disangka mampu dipelajari dan dipahami, tanpa memperhatikan kesiapan diri.

Jangan mudah puas terhadap sesuatu, akan tetapi juga jangan terjebak dalam rasa puas yang menghalangi asa untuk tetap melangkah. Perjalanan ini masih menyimpan berjuta misteri yang berlapis-lapis layaknya pengetahuan manusia akan lapisan langit, surga, neraka, atau bahkan kasta sosial mereka sendiri telah diklafsifikasikan sedemikian rupa.

Sadar atau tidak sadar, kita sedang dalam mencari kepuasan. Kita merasa mencintai sesuatu, padahal sesungguhnya mencintai tersebut sebagai sebuah cara untuk memenuhi kepuasan tersebut. Kita merasa mengenal sesuatu yang inti, sedang kita enggan menenyam pahitnya kulit kehidupan. 

Kita merasa telah diterima dalam kemesraan, sedang kita jarang menahan diri atau enggan mengalami penolakan-penolakan. Merasa diselamatkan? Tidak ada yang sanggup mengukur keselamatan seseorang atas janji-Nya.

Kemarau pun akhirnya roboh oleh sapaan hujan di tengah teriknya. Menyingkap cahaya yang seharusnya menjadi terang bagi kehidupan yang diselimutinya. 

Sedangkan manusia? Nantinya juga akan roboh oleh kebingungan di tengah luasnya pengetahuan yang telah dimiliki. Seharusnya semua itu akan mendatangkan kedamaian dalam balutan cahaya, namun cahaya itu justru menuntun ke dalam kegelapan.

Lantas bagaimana kita menemukan terang? Kita tidak akan sanggup menemukan terang karena belum benar-benar mengerti tentang terang. Salah satu cara kita memahami terang adalah dengan mengenal kegelapan. Dan kita tidak akan betul-betul memahami kecuali hanya mengira atau meraba saja. Namun setidaknya, janganlah berputus asa terhadap rahmat Tuhanmu!

 

ENTAH DARI MANA RASA ITU ?

 


Sebenarnya aku juga tidak mengerti darimana dan kapan rasa itu tumbuh ketika tatapan matamu menitipkan pertanyaan tentang hal tersebut. Hanya saja, aku sudah terbiasa untuk membagi-bagikan rasa itu kepada yang membutuhkan. Meskipun sebatas kehadiran, atau menemani kesunyiannya dalam relung sepinya kebersamaan.

Kebahagiaan itu selalu datang tanpa memberi tanda akan sapaannya. Sekalipun di sepanjang jalan ini telah banyak yang menawarkan buah kebahagiaan yang sama, hanya dua buah yang tidak bisa aku memintanya dan mengharapkan keberadaannya. 

Sehingga aku hanya bisa menanam biji-biji pemberiannya, tanpa mengharapkan akan memanen buahnya. Berharap nantinya akan banyak yang cukup merasakan nikmatnya, tanpa perlu mengetahui awal kenikmatan yang dirasakan.

Aku tidak pernah sanggup membalas, sekalipun diriku telah dipenuhi denganmu, olehmu, dan untukmu. Karena belum tentu dirimu akan menerima dan senang akan pembalasanku.

Mungkin bisa sebaliknya, kamu justru merasa risih jika aku memberikan hal yang sama seperti yang engkau berikan. Dan yang aku tahu pasti, kamu tidak membutuhkannya.

Dan kalaupun engkau membutuhkannya, engkau akan terus tinggal disini. Sementara aku justru membiasakan berkeliaran dalam kegelapan karena konon dalam kegelapan itu air kehidupan akan ditemukan. Bagaimana aku akan mengajakmu kepada sesuatu yang tidak mengenakkan dan berharap engkau tinggal dalam ketidakenakan tersebut?

Aku ingin kau terus saja membalikkan punggumu, jangan kau layani aku dengan duduk berhadap-hadapan denganku. Aku ingin seperti itu, sehingga yang kau lihat hanyalah nasihat dan sapaan biasa. Namun, jika engkau berusaha menatap mataku, aku tidak mau betapa rasa asih dan rahmat atas rasa itu sendiri terlihat lemah.

Apakah engkau tahu berapa lama aku menahan rasa benci terhadap situasi itu? karena ketika engkau duduk bersamaku, aku takut tidak akan sanggup lagi menahan segala daya yang selama ini tersyirat. 

Aku tidak sanggup lagi menahan kata yang selama ini ingin mengucap. Atau aku tidak tahan lagi menahan kehendakku sendiri, bahwa selama ini aku hanya melihatmu. Persis seperti yang sedang kita alami.

Bualan-bualan itu banyak berserakan, karena orang yang kalut dalam hasrat cintanya hanya akan seperti orang bodoh yang suka menjilat-jilat, mengorbankan kemakmurannya, demi memberi kesan bahagia terhadap kekasihnya. 

Mereka takluk oleh dirinya sendiri ketika melakukan pengejaran sesuatu yang dianggapnya cinta. Sedangkan kebanyakan dari mereka tak sadar bahwa yang mereka inginkan adalah kepuasan hasrat pribadi. Bukan ketulusan apalagi cinta.

Aku sudah sangat biasa hanya melihatmu terbebas dari jasad yang engkau bawa. Oleh karena itu, aku tidak ingin mengharapkan perjumpaan denganmu.

Karena mungkin aku sendiri belum benar-benar cinta dan masih menyimpan hasrat atas kehadiranmu. Aku cinta karena rindu, sedang rindu itu tercipta karena rasa ingin jumpa denganmu.

Kenapa hal tersebut aku tanamkan? Mungkin karena aku tidak butuh balasan apapun, termasuk cinta yang sama. Aku tidak mau kamu menggila dengan melihat segala sesuatunya berawal darimu. Dari satu. Aku hanya akan membawamu ke keabadian dan kekekalan untuk dapat terus merasakan kebahagiaan. Apa yang engkau rasakan kesementaraan, sedangkan yang aku jalani adalah keabadian.

Karena jika aku menginginkan perjumpaan denganmu, maka ketika aku menanam benih-benih rindu, tidak akan pernah aku menginginkan sesuatu apapun kecuali diperjumpakan lagi denganmu. Semua wujud laku mungkin merupakan bagian manifestasi atas keinginan untuk berjumpa denganmu. Cinta ini pun lahir tentu atas kehadiran dan perkenaanmu.

Biarkan aku hanya melihatmu, dan duduk cukup dengan mengingatmu. Kecuali jika engkau ingin menemani kegelapan dan kesunyian ini.

***

"Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya". (18: 110)

-

 

BATU PELAMPIASAN


 


Andai saja batu-batu yang terlempar itu sanggup menyuarakan haknya kepada manusia yang sesukanya sendiri melempar-lemparkan dirinya sebagai senjata untuk melukai manusia lainnya, apakah batu-batu yang berserakan di jalanan itu juga akan melakukan hal yang serupa kepada pemimpin mereka untuk sedikit saja membalas perlakukan manusia? Atau mungkin menangis, merintih, atau meratapi?

Apakah diri sudah merasa cukup adil sehingga tak terbesit sedikit pun rasa pakewuh atau apapun ketika menuntut keadilan? Apakah kita merasa kuat hingga serasa mendapat mandat untuk membela kaum dlu'afa? 

Di masa lalu, kaum yang dilemahkan itu jelas, tapi jika kita menerapkan dimensi ruang dan waktu, apakah kita benar-benar mengerti siapa kaum-kaum dlu'afa itu di masa kini? Apakah dlu'afa dan fakir/miskin memiliki kesamaan makna?

DI zaman sekarang, kita sering salah sangka terhadap mereka yang nampak biasa-biasa saja, baik cara berpakaiannya, kebiasaan hidupnya, bahkan tempat tinggalnya yang nampak akan rubuh, akan tetapi mereka sama sekali tidak memiliki beban hutang sama sekali. 

 Berbeda dengan mereka yang terbiasa hidup glamour dengan pakaiannya yang ber-merk, hidup seperti istana, akan tetapi nominal beban hutang yang ditanggungnya mungkin mencapai sejumlah angka yang sulit dibayangkan.

Orang suka berdalih mencari rejeki berupa materi sebanyak-banyaknya supaya dapat bersedekah lebih banyak. Tapi apa Tuhan menciptakan sesuatu berupa rejeki utamanya hanya hal untuk dicari? Sedangkan Dia sudah pasti memberi kecukupan rejeki pada apapun yang Dia ciptakan. 

Dia Maha Menghitung, hanya saja keterbatasan cara pandang dan berpiir kita justru sering membuat kita curiga terhadap ke-Maha Keadilan-Nya.

Kita tidak perlu bersusah payah mencari bukti atas dalih pencarian tersebut, untuk memilah prioritas antara keinginan dan kebutuhan pun diri sendiri masih nampak kebingungan, terlebih untuk membagi-bagikannya. 

Dan keadaan yang terjadi belakangan ini, itu hanya nampak seperti semakin terbatasnya probabilitas keinginan-keinginan tiap individu untuk dapat diwujudkan sehingga mereka mencari kawan untuk melampiaskan amarah kepada para penguasa.

Ya, hiburan paling menyenangkan adalah melampiaskan amarah atas ketidakberdayaan dirinya dengan cara mencari kambing hitam atas segala ketidaknyamanan keadaan yang sedang dialami. Selain menyenangkan, hiburan ini juga bisa dibilang ekonomis. Sebenarnya kita ini kuat, kenapa mesti merasa dilemahkan?

Jangan sampai kekayaan ilmu yang dimiliki justru membuat diri lupa untuk berendah hati. Jangan sampai kekuatan yang dimiliki menjadikan diri angkuh dan merasa sanggup mengatasi segala permasalahan. 

Jangan sampai kealiman diri melalaikan diri sehingga merasa dekat dan selalu dibela oleh Tuhan. Keserakahan akhirnya memakan dirinya sendiri. Dan berhati-hatlah agar tidak termasuk orang yang lalai dalam sholatnya.

Namun, kata-kata yang tertulis ini tak lantas berniat meghilangkan ketulusan yang sudah dan sedang diperjuangkan. Hanya saja kita perlu menghitung kembali langkah dan kapasitas, sudahkah kita siap? Atau nantinya hanya akan menimbulkan chaos dan merepotkan pihak-pihak yang memiliki tugas membereskan permasalahan yang kita ciptakan.

Untuk menjadi ummatan wasathon, atau kaum penengah pun ternyata tidak mudah. Bahkan, dilirik pun tidak karena sudah tak ada sisi menariknya sama sekali untuk menjadi kaum penengah di zaman yang serba-serbi menawarkan pelampiasan. Mereka menjadi tidak terlalu berhasrat untuk kemenangan dan mereka pun tidak terlalu menggubris kekalahan.

Yang mereka takutkan bukan kekalahan tapi justru kemenangan yang bisa menjadikan dirinya terlena. Yang mereka takutkan bukan kesalahan, melainkan kebenaran yang sedang dialaminya hanya sebuah bentuk ujian atau hukuman. 

Dan mereka takut bukan karena keinginan atau harapannya tidak tercapai. Akan tetapi mereka lebih takut jika mereka tidak diberi keselamatan di dalam kehidupan berikutnya.

Seperti batu-batu yang tak sengaja sering kita jadikan sebagai senjata tindakan anarkis, awalnya mereka terdiam menangisi diri mereka sendiri larut dalam doanya. Karena mendapat kabar bahwa bahan bakar dari api neraka adalah para manusia dan bebatuan.

Akan tetapi, setelah batu itu dilempar oleh tangan-tangan manusia, mereka justru menangis lebih keras. Bukan karena sakit atau kecewa, ternyata rasa syukur telah menanungi mereka, hingga akhirnya Tuhan tidak menjadikannya salah satu dari batu-batu yang berada di neraka.

Maihkah batu tersebut tidak membuat kita berpikir?

 

 

Cahaya yang kau lewatkan

  Andai saja aku biarkan mata ini terjaga agar bisa menyambutmu kedatanganmu, apakah hal tersebut akan menjadi suatu kebahagiaan untukmu? Te...