Apa yang diketahui oleh manusia tentang spiritualitas ? tentang
ruh, jiwa ( juga sukma, perasaan, roso, nafs, dan seterusnya),
serta hubungannya dengan dunia fisik ?
Manusia memiliki kesanggupan
terbatas untuk menggali sendiri pengetahuan tentang masalah itu, tetapi di luar
batas eksplorasinya itu, manusia juga membutuhkan informasi dari wahyu Allah. Karena
itulah agama diperlukan oleh manusia bukan sekedar sebagai “peraturan” tetapi
lebih penting lagi sebagai informasi ilmu, yang sesungguhnya merupakan landasan
mutlak bagi setiap dimensi hukum yang dikandung oleh agama.
Ekplorasi
ilmu tradisonal terhadap dunia spiritualitas cenderung terjebak pada takhayul,
klenik atau mitos. Sementara masyarakat modern kurang “berselera” untuk
memasuki wilayah spiritualitas, dan terjebak pada semacam ketidakpercayaan
terhadap spiritualitas. Dengan kata lain, orang tradisi “menyembah hantu”
sedangkan orang modern “menyembah batu”.
Oleh karena
itu, akan berkesimpulan pada titik ekstem yang tertentu, baik masyarakat
tradisi atau masyarakat modern terjebak pada kegagalan cukup serius dalam
usahanya merumuskan perjalanannya menuju penyatuan diri kembali ke hakikat
Tuhan, hakikat alam, dan dengan demikian juga hakikat kemanusiaannya sendiri.
Berangkat
dari filosofi manusia modern yang ingin menaklukan alam, sedangkan filosofi manusia
tradisi yang ingin menyatu dengan alam. Akan membuahkan konsekwensi manusia
modern mengatasi alam, menteknologikan alam menjadi budaya karena memang salah
satu ciri manusia modern yang berwatak dinamis, sementara manusia tradisi
berwatak pasif dan konservasif dalam arti manusia tradisi cenderung menerima
apa adanya dan kolot mempertahankan budaya yang sudah ada, mungkin itu karena
berfilosofi melebur alam. Lalu mana yang “benar” daintara keduannya ?
Memandang
filosofi yang berbeda diantara keduannya. Dinamika manusia modern dengan
teknologinya akhirnya terjebak dengan kekeringan ruhani karena perjalanan ke
depan mereka memakai perspektif waktu yang linier ( selalu bergerak lurus ), hampir
jadi, langkah ke depan mereka adalah langkah menjauh dari alam dan Tuhan. Perlu
dingat sebenarnya dalam islam memiliki konsep wa ilaihi turja’un :
kepergian hidup manusia ini kembali kepada Allah, artinya perjalanan ke depan
sekaligus kembali ke “belakang”. Konsep waktu dalam islam adalah siklis,
membulat, atau melingkar. Sedangkan secara
filsafat, perjalanan manusia modern dirumuskan dalam orientasi
eksisitensialisme - menyuruh dirinya sendiri menjawab keadaan yang menimpanya -,
dan itu artinya menjauh dari Allah, atau dengan bahasa islamnya ; anti
tauhid.
Sementara
pada masyarakat tradisi –yang sebenarnya memiliki konsep waktu siklis- metode
untuk “kembali ke Allah” itu ditempuh tidak dengan kata “maju ke depan” tetapi
dengan “berjalan di tempat” atau “balik ke belakang”. Jadi, baik manusia modern
maupun tradisi melakukan tarekat yang masing-masing memiliki kekurangan, bahkan
bisa dikatakan keliru. Manusia modern sukses mengkhilafahi alam, tetapi keliru
orientasinya sehingga tidak taqorrub kepada Allah. Sementara manusia
tradisi bertahan dekat dengan Allah, akan tetapi gagal melaksanakan
kekhalifahan yang dinamis.
Sebenarnya
ini adalah peta peradaban yang sangat luas sekali, tugas kita sebagai manusia seutuhnya
ialah fokuskan pada persoalan pariwisata kehidupan. Pariwisata kehidupan adalah
fenomena religius, yang mana dengan sebab itu manusia modern dapat memasuki
proses teknologi kebudayaan, yakni arah menjauh dari alam, kemudian menciptakan
peluang-peluang khusus untuk kembali ke alam, lalu kembali kepada Tuhan. Kerapkali
kegagalan ruhaniah ( spiritual ) kebudayaan modern itu sebab kegelisahan oleh “alam
bawah sadar” mereka sehingga kemudian di telurkanlah antara lain alternatif
budaya yang bernama pariwisata kehidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar