Semangat perubahan itu sudah tidak terlihat
lagi, akan tetapi waktu yang terus berjalan memaksa kita untuk terus bergerak.
Sedangkan segala gerakan-gerakan itu tetap mendorong terjadinya perubahan,
sekalipun perubahan yang terjadi pun pada akhirnya hanya akan rando karena tidak
adanya identifikasi laju dari tiap-tiap individu.
Mungkin
ada seseorang yang akan melakukan identifikasi pemetaan untuk sampel data yang
bisa di evaluasi bersama, sehingga bisa meminimalisir perubahan-perubahan yang
efeknya mungkin lebih banyak menjurus ke hal-hal yang mudharat daripada
yang afdhol.
Namun,
kendala orang-orang di zaman sekarang dengan bekal ilmu yang segudang, baik
secara sains maupun spiritual, mayoritas tidak mampu menghasilkan kerendahan
hati untuk diajak saling support atau setidaknya menghargai dan mengapresiasi
apa yang telah orang lain kerjakan.
Seakan-akan
mereka memuji, tapi hal tersebut tak lebih dari latihan sandiwara yang selama
ini diam-diam banyak dipelajari. Semua juga mengalami peningkatan dalam bidang
acting, atau memanipulasi moral untuk menjaga image diri. Banyak orang yang
tertipu untuk mengenali identitas, mulai seorang profesor, OB, mekanik, buruh,
hingga yang dianggap ulama.
Mereka
tidak ada kemandirian, kecuali atas ego benarnya sendiri. Itu dikarenakan
karena dirinya merasa telah mengenyam banyak ilmu. padahal, output dari ilmu
itu sendiri hakikinya bukan kekuasaan, pangkat, ataupun harta yang dapat
dihasilkan, melainkan adalah akhlak.
Semakin
tinggi ilmu seseorang, semakin baik akhlaknya seperti yang selama ini banyak
kita temukan dalam peribahasa "jadilah seperti padi, semakin berisi
semakin merunduk".
"Dholim,
dholim, dholim..." kata seseorang. "hal utama yang
dipelajari manusia semakin bertambahnya usia adalah membuat kemasan narasi yang
indah atau katakanlah alasan, untuk menutupi kerakusan dirinya. Dalam hal dan
profesi apapun itu." lanjutnya.
Kita hidup
bebrayan, tapi kenapa sangat sulit sekali diajak puasa bersama, menyedekahkan
diri untuk melakukan sesuatu yang baik. Sekalipun itu dalam payung satu
keilmuan yang sama, hal itu bukan hal yang mudah dilakukan.
Bukan karena
kompleksnya masalah yang ada di luar lingkungan itu, atau terlalu ruwetnya
masalah. Bukan karena mental yang masih sering dikata tempe, atau bukan karena
kurangnya informasi akan berbagai macam bidang keilmuan. Hal yang menghambat
antara lain faktor utamanya adalah diri sendiri.
Mungkin kita
bisa membohongi orang banyak, akan tetapi kita tidak bisa membohongi diri
sendiri. Kita mengetahui kebenaran, tapi berlagak seolah-olah lupa akan
kebenaran.
Kita
selalu mencoba untuk membuat orang tidak resah dan cemas, namun kita kurang
memacu diri dan memilih bermalas-malasan. Banyak sekali kata-kata yang terucap
namun tidak menghasilkan korelasi perbuatan yang sama.
Aku yang
menulis seperti ini pun sebenarnya telah menyombongkan diri karena tidak
memiliki dasar ilmiah tentang apa yang tertuliskan. Tidak pandai menuliskan
catatan-catatan kaki atau mungkin karena terlalu malas membuatnya.
Kita dikepung
oleh sanad-sanad keilmuan yang memberikan batas atas kemandirian, inisiasi, dan
kreasi kita. Kita seperti gembala yang dituntut agar tidak ceroboh, meski
sebenarnya hanya agar mudah diatur. Jadi, semua ini salah, tidak valid, dan
tidak berdasar apapun.
Jadi
anggap saja, semua itu hanya omong kosong. Toh, jika orang berilmu dan pintar
bersandiwara, sekaligus memiliki koalisi yang kuat hanya nampak seolah-olah
melakukan perbaikan.
Akhirnya
kentara dengan sendirinya, baik atau buruk, tergantung Dia yang masih selalu
saja tidak memperlihatkan aib-aib kedholiman para hambaNya, karena terlalu Maha
Mencintanya.
Biar hal-hal seperti itu menjadi pelajaran dan tonggak estafet perjuangan dari generasi ke generasi. Dari dulu sampai sekarang juga akar permasalahannya tak jauh-jauh dari masalah moral dan akhlak yang selalu menjadi poin utama dalam output pembelajaran agama/spiritual.
Tentu saja, jangan muluk-muluk dengan perubahan andai belum memiliki
kesiapan akan datangnya sebuah ujian. Jangan muluk-muluk menyatakan perang
terhadap sesuatu kalau mengidentifikasi musuh pun masih tidak sanggup.
Betul jika
semuanya memiliki latar belakang dan profesi yang berbeda-beda. Dengan
banyaknya proses intelektualisasi dalam berbagai macam ilmu berhari-hari.
Dengan hasil aktualisasi takwa yang tentu tidak bisa disamaratakan.
Kita mungkin
sering mendengar "ittaqullah haqqo tuqotihi"
(3:102), kita diminta untuk bersungguh-sungguh dalam bertakwa. Begitupun dengan
"fattaqullaha
famastatho'tum" (64:16), bertakwa dengan semampu-mampunya.
Maksudnya bukan bertentangan, melainkan untuk menciptakan ruang untuk
memfaslitasi kapasitas tiap individu yang berbeda-beda.
Dengan tujuan
utama perubahan untuk bersama-sama mencapai kaaffah. Namun, sudahkah kita
bersungguh-sungguh menjalani peran? Atau jangan-jangan belum mengetahui peran
otentisitas diri sendiri?
Jadi jangan
salahkan perubahan jika tidak berjalan sebagaimana mestinya, tanyakan kepada
diri sendiri dahulu, "sudikah memaksimalkan peran dalam sebuah sistem
perubahan secara maksimal dan bersungguh-sungguh, tanpa tendensi apapun?"
Semangat yang terkikis bahkan sampai hilang dan hanya muncul di permukaan
awal-awal. Terjadi karena niat keberangkatan yang mungkin masih banyak
tendensi. Hingga seiring berjalannya waktu tidak menemukan capaian atas
tendensi tersebut.
Lalu
apa bedanya dengan melakukan bisnis yang mengalami kerugian materi? Hanya saja
kali ini merugi fisik, tenaga, dan waktu. Mengapa kita masih memperdagangkan
hal-hal seperti itu?
Kesungguhan itu akan menghasilkan
kesetiaan. Jika pada akhirnya kesetiaan tidak terlihat, perlu dipertanyakan
kesungguhan itu terutama kepada diri kita masing-masing. Di dalam titik
pertemuan ruang dan waktu yang biasa dijalani selama ini. Jangan-jangan kau
hanya mencari pengakuan?
Kita
bertanggung jawab atas perubahan yang
akan dialami beberapa waktu yang akan datang. Biarkan saja mengalir atau
berjuang semampunya dengan memaksimalkan peran diri? Tapi buat apa engkau
berusaha, toh semua 'katanya' juga baik-baik saja dan tidak ada masalah apapun
dalam laju perubahan.
baiklah !!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar