![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi-yQCmo4THfF_0ceYzwCEoFvJzNJHHQF3EDU3MgYXCN-8kfwQkdmHmX64LjP-Z4HQs3DPexphHx9Ff9_aSqKFRQbnU7jiHuGIPtembjhZtwLylQdG02ZDTToXEWy7jwJZz8QokVAtEeOk/w224-h320/lampion.jpg)
Seruang
namun terasa sulit untuk menemukan cara untuk bisa saling berbagi kata-kata. Bahkan tatap pun terasa semakin
punah tersiksa oleh pandemi keraguan akan rasa yang tumbuh tidak sebagaimana
umumnya.
Hingga tersisa jejak-jejak
wangimu memaksa diri untuk segera dirawat sebagaimana mestinya. Biarlah
angan merundung lesu, asal rasa yang kian tumbuh subur tak semakin menyesakkan
hati yang enggan mengungkapkan kata-kata.
Kata-kata hanyalah bayangan
akan kenyataan. Sebuah citra telah saling kita pancarkan hingga mampu menarik
hati satu dengan yang lainnya tanpa harus mengumbar banyak kata.
Tanpa pernah menanyakan,
"apa kabarmu" atau "sedang apa dirimu?", dan kau sendiri
yang akan datang kepadaku. Bisakah kau merasakan, betapa mempesonanya kenyataan
yang nampak tanpa bayangan kata-kata tersebut?
Dan kenyataan itu menyapa bukan karena sebuah hasrat diri, melainkan atas
simpati yang selalu kau tawarkan. Lewat senyuman-senyuman yang selalu kau bagi
untuk menghibur kesunyian yang kau lihat atas diri ini. Tidakkah sesekali kita
memikirkan bagaimana sesuatu ini kian mewangi?
Ketika awal dari
sebatas citra sebuah angan, akhirnya menjadi kenyataan. Bukankah itu
cukup? Tanpa harus disepakati dengan bayang kata yang akan menambah toxic tendensi-tendensi
yang merumitkan.
Kasih, pada akhirnya akan
datang pula, "Hari ketika segala pikiran dan perbuatan yang tersembunyi
akan diuji." (86:9) Jika itu
kebaikan, maka musuh kita adalah waktu.
Jika masih juga hal itu
membuatmu ragu, maka berendah hati, takutlah, dan jangan gantungkan harapan itu
kepada siapapun kecuali Dia. Andaikan itu banyak menimbulkan ketidakbaikan
dalam pikiranmu, berarti sedang mengajarkan keikhlasan.
Dalam ruang itu, jarak
bukan lagi menjadi sekat yang menjadi pembatas di antara kita. Telinga ini
masih bisa mendengar suaramu. Mata pun sanggup untuk membaca segala gerak-gerik
keindahanmu.
Indera ini tak hanya
mencumbu jejak wangimu, namun, bukan menjadi sebuah kemustahilan bagi
jari-jemari jika ingin merasakan kelembutan tubuhmu. Tapi, itu tak lebih dari
sekedar bumbu-bumbu layaknya bayangan kata yang tergambar oleh sebuah angan.
Maka, sebisa mungkin raga
ini harus pergi. Meski pergi tanpa arah tujuan dalam gelap dan dinginnya Sang
Malam. Demi ikatan yang abadi, pikiran dan perbuatan sudah semestinya
mendapatkan ujiannya. Manusia-manusia seringkali terjebak di banyaknya
wajah-wajah masalah yang datang.
Sedangkan,
dari sekian banyak jumlah tersebut, bisakah kita menemukan satu dasar, akal,
atau sumber dari semua itu? Bukankah pada akhirnya kita hanya sibuk berselisih
dan banyak menyia-nyiakan waktu?
Tapi, itulah jalan yang
mesti dilalui jikalau ingin mencapai penyatuan. Naluri manusia selalu mengajak
untuk mendapatkan keamanan dan kenyamanan.
Lalu, bagaimana mereka akan
beranjak dewasa pemikirannya? Bagaimana akan memperluas cakrawala pandangnya?
Bagaimana akan menemukan kedalaman batinnya? Jika mereka enggan diperkenalkan
dengan perselisihan-perselisihan yang satu diantaranya akan menghujam kuat
menembus hati yang terdalam.
Disana akan ada batas yang
memperkenalkan berbagai macam bayang-bayang kata yang mewujud menjadi prasangka.
Ketika disana engkau bertemu sunyi yang menyekap dirimu, disaat sangka mengikat
gerakmu dan mengatakan bahwa engkau sendirian.
Di saat itu pula, perlu engkau ketahui bahwa engkau hanya butuh sedikit
menolehkan pandanganmu kebelakang. Karena akan selalu ada kesetiaan yang
mengikutimu.
Aku akan bersembunyi dalam
bayang kata-kata. Aku hanya kenyataan yang ditiadakan oleh bayang-bayang yang
tercipta. Namun, aku tidak ingin engkau mengenalku.
Sekalipun berulang kali kau
tak hiraukan ketulusan yang menyapa, hal itu bukan menjadi alasan buatku untuk
berhenti melangkah. Karena bukan aku yang menumbuhkan rasa, bukan aku yang
menciptakan asih, bukan aku yang mengendalikan segala permainan ini. Dan aku
setia kepada-Nya, bukan kepadamu.
Dunia ini hanyalah buih,
sedang pengetahuan itu layaknya lautan. Dan cinta sejati itu layaknya mutiara
yang jauh tersembunyi di dalamnya. Ketika kamu puas dengan secangkir air
lautan, bagaimana kamu akan menemukannya?
Kita sudah banyak
dipertemukan dalam kenyataan, menembus segala bayangan kata yang menyembunyikan
segala realitas. Kita sudah saling tarik-menarik dalam beribu bisu. Kita saling
membahagiakan dalam setiap kehadiran. Apakah itu sudah cukup menjadikan kita
satu dalam keabadian?
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar