Dalam perjalanan, banyak nampak perempuan-perempuan
tangguh di segala rentang usia. Ada perempuan mungil yang murung di pangkuan
ibunya. Ada perempuan dewasa berseragam selepas pulang sekolah yang tersenyum
riang dengan sepeda yang dikayuhnya. Bahkan, sekilas kepergok seorang ibu
sedang menatapku di tepian jalan. Yang mungkin sedang menanti seseorang
menjemputnya selepas bekerja.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZqH3nbAqTbdpFv5Y7thQBD0KcYOImwAM-NQ9mSywLu0eCXLCv9Il5r4y28lsHjbVN-qKmEaNdWLSqxaYKbfjrSa8XDM5RXR0Il7bFtevr7Tl0Zb5gjxKdHrl2q5KFHQ3uNyiIvk4S_VM/s320/tatapan+mata.jpg)
Sesekali, para ibu itu menangis di sudut dapur nan
terdengar riuh meski sendiri. Bukan karena irisan bawang, namun karena
keheningan yang dirasakannya.
Para perempuan tangguh tersebut melakukan sesuatu yang
bukan untuk dirinya. Dia rela beranjak keluar rumah sebelum fajar menyapa,
dengan dingin yang dirasa mampu menembus qalbu. Demi keluarga, yang terlalu
banyak menuntut ini dan itu hingga sering terlupa membalas perhatian asihnya.
Bagaimana bisa Bunda Maria itu mengandung tanpa sebuah
pertemuan? Lantas bagaimana Bunda membesarkan anaknya? Dengan begitu banyak
hujatan prasangka diarahkan kepada dirinya.
Bagaimana ia mampu bertahan? Ataukah Tuhan benar-benar
memberikan jaminan rasa aman lewat tangan malaikat-malaikat-Nya? Bagaimana
Bunda memiliki Iman? Meski tak melakukan protes seperti apa yang dilakukan oleh
Nabi Musa hingga gunung itupun seketika hancur
Tentu, standar nilai kehidupan yang baik bagi
seseorang tidak bisa dipaksakan ke berbagai lapisan kehidupan, dengan latar
belakang/basic yang juga berbeda satu dengan yang lainnya.
Hal tersebut nantinya akan mempengaruhi respon ketika
dihadapkan dengan sebuah gejolak yang sering dikira sebuah masalah, meski
sebenarnya itulah yang memberi keindahan dalam hidup.
Terlepas dari kehebatan seorang wanita, kita semua
dihadapkan dengan pilihan-pilihan yang datang silih berganti bagai ombak yang
terus saja mendera bibr pantai. Memaksa mereka menampung sampah-sampah yang
dibawa entah darimana. Dan menerimanya dalam senyap. Lihatlah bagaimana
keegoisan dan keangkuhan di antara 2 sisi pilihan, perhatikan ketulusan dan
keikhlasan tanpa menunjukkan alasan-alasan.
Tidakkah kita sedikit saja menengok dan lebih memberi
perhatian kepada perempuan-perempuan itu, yang tersungkur letih mengurusi
rumah, sepi tanpa ada teman mendengarkan segala keluh kesahnya, atau ingin
menjerit sekeras-kerasnya di depan suami yang masih saja mengeluh tentang
kenikmatan dan kepuasan hasrat bercinta di atas ranjang. Meski tak tahu mengapa
standar itu justru berubah, apa ada perempuan lain. Ah, bangsat!
Atau sebaliknya, bagaimana para laki-laki itu berjuang
demi keluarga tanpa kejelasan hasil. Yang bergerak dengan begitu banyak bekal
pengharapan kepada Tuhan untuk diberikan sedikit saja cahaya hanya demi mengisi
perut anak-anak dan istrinya. Belum, dengan ancaman Sang Istri yang akan pergi
meninggalkannya jika perjuangan tak kunjung berpengaruh terhadap nasib
kehidupan.
Nikmatilah hidupmu selagi engkau masih diberi waktu
untuk menatap bahkan ditemani oleh cinta dan ketulusan meski tak sanggup ia
mengungkapkannya. Nikmatilah segala perhatian yang diterima sebelum suatu saat
kehilangannya, atau jika murka yang mesti didera. Nikmatilah setiap pertemuan
meskipun itu hanya sedetik cumbu bahagia, sebelum kerinduan mengekang setelah
perpisahan itu tiba.
Anggap saja keberadaan tak sepenuhnya mampu memahami.
Mungkin saja ia atau anggap saja aku yang buta, terjebak dalam kesempitan,
terhimpit oleh kecilnya cakrawala. Atau terlalu rakus hingga tak sadar diri
telah terlalu egois. Sehingga tak mampu menatap dan mengerti segala candamu
sekalipun dalam kesunyian, Kasih!
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar