![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh8vol3WbvOrTP0Iae48-w-nBIFInIU6yx1aHumpKz8fk1_0sZfUXCE_a0vF8IJioiudB6DCoRpd5SHj_jLc4wCqNEm7AOL-MYElYS3h0RCe0a1R-pO2fylI12orTIpIhyYQrg2w6gGppg/s320/Berpikir.jpg)
Mengapa Tuhan
mengatur-ngatur kita? Pertanyaan ini bagi sebagian orang mungkin merupakan
sebuah pertanyaan yang tidak etis (su’ul adab) karena telah
mempersoalkan perbuatan Tuhan.
Kata
“mengatur-ngatur” dalam rangkaian kalimat tanya di atas juga berkonotasi
negatif yang seolah mencitrakan penanya telah enggan mengikuti aturan Tuhan.
Namun, dalam perspektif filsafat,
pertanyaan ini justru merupakan pertanyaan yang sangat mulia dan paling
luhur sebab berusaha merambah tataran aksiologi.
Aksiologi secara
sederhana dapat diterjemahkan sebagai cabang dari filsafat yang membahas
persoalan nilai, tujuan, manfaat, guna, dan kebijaksanaan dari sebuah entitas.
Tataran aksiologi melampai dua tataran filsafat lain yaitu ontologi yang
mendedah hakikat entitas dan epistemologi yang menjabarkan bagaimana entitas
terformulasikan.
Menjawab Pertanyaan Filosofis
Pertanyaan
aksiologi “Mengapa Tuhan mengatur-ngatur kita?” sebenarnya merupakan bentuk
penyederhanaan dari banyak pertanyaan parsial-fisosofis seperti:
“Mengapa Tuhan
mewajibkan kita shalat?”
“Mengapa Tuhan
melarang kita berbuat zalim?”
“Mengapa Tuhan
melarang kita mencuri?”
“Mengapa Tuhan
melarang kita mengkonsumsi minuman keras?”
“Mengapa Tuhan
mengharuskan pernikahan untuk menghalalkan hubungan dengan lawan jenis?”
Kumpulan
pertanyaan filosofis ini membutuhkan jawaban yang tidak sederhana. Jawaban
berupa pengutipan dalil-dalil baik dari Al-Qur’an maupun Sunnah tidak mencukupi
untuk merespon pertanyaan ini. Pengutipan dalil dengan analisis kebahasaan dan
usul fikih baru sampai pada tataran epistemologi atau formulasi hukum dan belum
sampai pada tataran aksiologi atau nilai.
Aspek nilai ini berkaitan erat dengan apa
yang para ulama sebut sebagai tujuan-tujuan syariat (maqashid
al-shari‘ah). Tujuan-tujuan ini ditemukan dari hasil istiqra’ atau penyimpulan secara
komprehensif terhadap seluruh aturan Tuhan (baca: syariat) baik berupa
perintah, larangan, aturan teknis, maupun sanksi hukum Tuhan yang mengikat
manusia.
Di Balik Tuhan Mengatur Manusia
Secara lebih spesifik, pemikiran Abu Hamid al-Ghazali dalam kitab al-Mustashfa dan Ibrahim al-Syathibi (w. 1388 M) dalam kitab al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari‘ah relevan untuk menjawab lima pertanyaan partikular-filosofis di atas.
Menurut keduanya, penurunan aturan Tuhan bertujuan untuk melestarikan lima keniscayaan (al-daruriyyah al-khams) yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Untuk
merealisasikan pelestarian agama dalam diri setiap manusia, Tuhan memerintahkan
manusia membenarkan semua rukun iman dan menjalankan seluruh rukun Islam.
Setelah semua itu terealisasikan, Tuhan memerintahkan jihad fi
sabilillah ketika eksistensi keberimanan dan keberislaman diganggu.
Untuk
merealisasikan pelestarian jiwa, Tuhan memerintahkan manusia untuk memenuhi
kebutuhan pokoknya baik sandang, pangan, dan papan. Pelestarian jiwa dilindungi
dengan larangan pembunuhan dan segala perbuatan perbuatan zalim yang mengancam
jiwa manusia. Ketika pelestarian jiwa terenggut, sanksi pidana seperti kisas
dan diat ditegakan.
Untuk
merealisasikan pelestarian akal, Tuhan memerintahkan manusia untuk menuntut
ilmu, makan makanan yang halal dan bergizi. Di samping itu, jalan proteksi
diterapkan dengan larangan keras mengkonsumsi minuman yang memabukan dan sanksi
keras terhadap pelanggarnya.
Untuk merealisasikan
pelestarian keturunan, Tuhan mengatur pola hubungan ideal antara laki-laki dan
perempuan dengan ikatan sakral pernikahan dan segala hal yang berkaitan.
Kesakralan ikatan ini diimbangi dengan larangan zina dan sanksi bagi pelakunya.
Perhatian Tuhan
tentang bagaimana manusia mesti berinteraksi dengan lawan jenis memang sungguh
besar. Jalan proteksi telah dimulai dengan perintah untuk mengeramkan mata dan
menutup aurat.
Terakhir, Tuhan
memberikan legitimasi terhadap kepemilikan manusia. Dia memerintahkan manusia
untuk bekerja dan bermuamalah dengan baik untuk memperolehnya. Pada saat
bersamaan, hal-hal yang mengancam kepemilikan manusia seperti pencurian, gasab,
dan perampokan dilarang sama sekali. Sanksi terhadap pelanggar hak milik
manusia terwujud dalam aturan-aturan had (pidana) dan takzir.
Kepentingan Tuhan atau Manusia?
Abdul Wahhab
Khalaf dalam kitab Ilm Ushul al-Fiqh menegaskan bahwa lima
keniscayaan merupakan dasar kehidupan manusia di mana kemaslahatan mereka tidak
bisa terwujud tanpa kehadiran lima hal fundamental ini. Ketika salah satu dari
lima hal ini tidak dilindungi, maka keteraturan umat akan terganggu,
kemaslahatan mereka akan terabaikan, dan kekacauan akan merajalela.
Jadi, maksud
Tuhan mengatur-ngatur hidup kita bukanlah untuk kepentingan Tuhan sendiri,
melainkan untuk kepentingan kita umat manusia. Apapun yang Tuhan perintahkan
pada manusia bertujuan untuk memberikan manusia kemaslahatan sedangkan segala
hal yang Tuhan larang adalah untuk menghindarkan manusia dari berbagai macam
kerusakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar