Malam demi malam terus berlanjut sebagaimana hitungan
angka-angka itu semakin bertambah. Menandakan sejumlah jumlah ataupun usia
sebuah perjalanan hingga akhirnya bertahan menjadi sebuah peradaban.
Menyongsong batas demi batas yang banyak mengajarkan tentang jengkal-jengkal
kebenaran ataupun lapisan-lapisan keindahan.
Kita sudah banyak mengetahui dan memahami, bahkan mengalami banyak perubahan yang acapkali mendewasakan,
baik secara pemikiran, tutur kata ataupun perilaku yang terus bertambah baik
demi belajar tentang bagaimana memiliki akhlak yang baik seperti yang telah
diajarkan oleh para Rasul.
Sekali-kali bukan karena kefakiran ilmu, justru badaya yang terjadi dewasa
ini berkembang begitu pesat disebabkan oleh kekayaan ilmu yang telah dicapai,
kecanggihan teknologi yang semakin mutakhir, atau kealiman manusia-manusia yang
semakin memungkinkan kita untuk dapat menyimulasi kholodina
fihaa abadaa secara langsung.
Namun mengapa, yang terjadi sebenarnya kenapa amat jauh dari kemungkinan
tersebut? Apakah ada yang salah dari ilmu-ilmu yang telah dimiliki? Adakah
kecanggihan teknologi yang sudah banyak ditemukan lebih banyak membuat
perbaikan atau kerusakan? Mungkinkah kealiman-kealiman yang banyak ditunjukkan
oleh para hamba-Nya benar benar merupakan buah dari keimanan dan ketaqwaan?
Ilmu-ilmu itu banyak berserakan dimana-mana. Banyak
orang mengetahui dan memahami, namun tak melekat di dalam output pengamalannya. Banyak orang
mampu menjelaskan ilmu-ilmu yang sebenarnya memilki keistimewaan yang luar
biasa, namun penjelasannya tak ada korelasi dengan laku hidup yang dijalani
sehari-hari.
Karena pada akhirnya, ilmu itu hanya dipakai untuk menuntaskan dahaga
kebutuhan dan keinginannya. Selama ini, ilmu itu dicari demi sebuah maqom-maqom
tertentu, bukan kerendah-hatian.
Benar apabila kemutakhiran teknologi akan mempermudah pekerjaan-pekerjaan
manusia. Akses informasi juga semakin cepat disampaikan dan lebih mudah
diakses. Tapi, kebijaksanaan atau justru budaya nyinyir yang
akhirnya terlahirkan?
Tentu, hal ini tidak dapat digeneralisir dengan berbagai banyak
faktor-faktor pembentuknya. Toh, semua yang negatif tetap berdampingan dengan
yang positif, begitu juga sebaliknya.
Mengenai kealiman, banyak manusia-manusia mengumbar cintanya terhadap diri
sendiri. Sedangkan hal tersebut sesungguhnya menumbulkan sebuah pertanyaan,
sudahkah kamu mengenal diri kita sendiri sehingga diri ini pantas untuk
dicintai? Bukahkah pertanyaan atas diri tak ubahnya sebatas hasrat yang ingin
segera terlampiaskan
Daripada lebih berhasrat untuk menyatakan cinta kepada diri, bukankah kita
mesti banyak belajar berhitung tentang seberapa banyak kita mendapat peringatan
bahwa kita hanya orang-orang yang dholim dan bodoh?
Hal itu semakin menambah pelik kerumitan, namun juga berbarengan dengan
meningkatnya keindahan semakin kompleksnya citra-citra perbedaan demi
tercepainya sebuah kebenaran.
Sedikit saya mengambil pesan yang belum lama ini
diungkapkan oleh salah seorang guru. Beliau berkata bahwa kita tinggal menunggu
salah satu langkah lagi. Meski kebenaran hanya
Allah yang mengetahuui.
Satu langkah karena mungkin kita dianggap telah siap untuk menjadi tonggak perubahan. Bahkan, bisa dibilang satu
langkah tersebut akan menjadi awal dari titik pusat peradaban baru tidak hanya
sebatas negeri, melainkan dunia. Karena beliau melihat kita telah siap dengan
kemungkinan-kemungkinan dengan banyaknya keistiqomahan akan peran-peran yang
selama ini telah banyak diidentifikasi dan dipelajari.
Selain itu, beliau berkata satu langkah lagi mungkin karena kita telah
banyak berpuasa atau menahan diri atas kerakusan dan ketamakan
sitem-sistem yang tidak berlandaskan dengan asas pertama hingga kelima.
Kita telah terbiasa untuk memilih tidak memakan dunia yang sudah ada di depan
mata dan memilih untuk lapar dalam keterasingan.
Jika menapaki 4 syarat perubahan yang pernah disampaikan oleh beliau,
kehadiran Covid-19 telah sesuai dengan syarat ketiga yang merupakan wujud dari
sebuah wabah setelah revolusi dan perang saudara. Tertinggal 1 syarat yang bisa
jadi merupakan satu langkah sebelum perubahan itu terwujud, yakni sebuah
guncangan yang besar atau bisa disebut bencana alam.
Adakah yang menginginkan hal tersebut? Tentu saja
tidak. Kita masih banyak memiliki orang-orang yang begitu dikasihi dan begitu
kita lindungi. Kita tentu tidak tega melihat kesengsaraan dan ketakutan
orang-orang yang dikasihi terlepas dari bagaimana sifat dan kebiasaan hidupnya
selama ini.
Atau mungkin hal tersebut bisa ditawar dengan disegerakan dalam
skala-skala perubahan yang lebih kecil, baik dalam lingkungan rumah
tangga, desa, kota, atau lingkungan yang lainnya. Kita telah banyak memiliki
bekal tinggal butuh sebuah permantik.
Pemantik dari berbagai macam silmi untuk
memacu laju percepatan akan suatu perubahan yang selaras dengan tugas-tugas rahmatan lil 'alamin.
Ada atau tidaknya sebuah perubahan bukan suatu hal yang dikhawatirkan.
Dalam tiap skala waktu apabila kita jeli, selalu mengandung getaran-getaran
lembut yang membawa suatu perubahan. Karena mayoritas, perubahan itu
benar-benar tidak merubah.
Perubahan hanya membuatnya kembali ke kebiasaan seperti semula. Kelalaian
dan keingkaran. Atau manusia benar-benar telah melampaui batas.
***
Kita telah senantiasa bersungguh-sungguh dan setia melakukan
kebiasaan--kebiasaan yang jauh dari wajar melalui sapaan-sapaan untuk meminta
pertolongan yang sering disebut wirid atau sholawatan. Hal tersebut menjadi
medan juang sendiri bagi yang terasingkan dan jauh dari keeksistensian.
Apabila adzab mampu berlaku bagi lingkungan sekitar,
hal ini mungkin berlaku juga bagi keberkahan dan keselamatan lewat wirid yang
terlafadzkan. Sang Guru berkata, ada 3 kemungkinan yang membuatnya qobul, bisa
karena wiridnya memang bagus, bisa karena seseorang yang benar-benar tulus
hingga mendapat perhatian-Nya.
Atau kemungkinan yang terakhir adalah sebuah kebenaran yang hanya Allah
yang mengetahui dan menjadi hak prerogatifnya untuk memberi perlindungan dan
keamanan.
Lalu, kemanakah langkah itu
akan tertuju? Kelahiran atau kehancuran? Namun, bukankan salah satu adanya makna kelahiran karena
adanya kehancuran (kematian)? Wallahu
'alam bish-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar