Rabu, 28 Oktober 2020

ANDAI AKU TAK ADA

 

Tambahkan teks

Akan ada sesuatu yang dinasakhkan atau digantikan ketika diri ini tiada. Bahkan ayat-ayat yang hilang dari kata-kata pun akan tergantikan dengan sesuatu yang lain. Tidak ada kekhawatiran ataupun kesedihan. 

Kalaupun ada, hal itu akan terjadi seperti kebahagiaan yang biasa kita rasakan. Semua hanya akan berlalu layaknya sambaran kilat. Sekejap dalam rentang satuan waktu hidup yang begitu panjang.

Pekerjaan atau kebiasaan yang biasa kulakukan, akan mampu digantikan dengan seseorang yang lebih baik. Mencari makna-makna yang tak terlihat ataupun terdengar juga sangat mudah asal memiliki keberanian untuk memetiknya. Terlebih hanya sekedar merangkai makna di sela-sela pekerjaan, sekali duduk sudah pasti jadi.

Dalam ruang-ruang yang sering aku bersembunyi di baliknya, bukan merupakan sebuah urgensi untuk menggantikan ketidakhadiranku dalam ruang itu. Peran yang aku ambil hanya sebagai seorang pendengar yang masih kepo terhadap banyak hal atas kebodohan yang telah menjadi penyakit akut atas diri ini.

Andai aku tidak ada, siang dan malam tetap akan bergantian mengisi waktu sebagaimana mestinya. Kebersamaan ruang itu akan selalu memantik cahaya sebagai prasyarat untuk selalu dipertemukan. 

Gejolak atau prasangka yang selalu aku bawa dan didakwa memisahkan, akan sirna hingga berganti pertumbuhan yang sangat progresif karena telah kehilangan satu beban kebodohan yang sering menyusahkan.

Maaf apabila angin ini terlalu mengusik ketenangan. Maaf apabila angin yang berhembus terlalu kencang sehingga membukakan hijab-hijab yang tidak seharusnya terbuka. 

Benar adanya jika kehadiran angin ini hanya menyebabkan kerusakan kemanapun ia beranjak. Sehingga tidak dapat merangkul mesra cinta-cinta yang telah mendapat ketenangannya.

Tidak ada urgensi sehingga aku harus ada di antara kalian. Selalu tiada tempat untuk berpulang, karena diri yang terlalu mengusik dan bertingkah seenaknya sendiri. Lantas, mengapa engkau menciptakan aku? Jika akhirnya kehinaanku dengan angkuh dan tak tahu diri terlalu berharap untuk dapat bertemu denganmu.

Lalu engkau bertanya, bukankah tidak ada sesuatu yang sia-sia? Itu hanya akan menghiburku sejenak. Karena selalu ada contoh sehingga muncullah makna kata sia-sia. 

Mungkin benar, jika aku menjadi satu dari sekian banyak yang telah banyak melakukan sesuatu yang sia-sia. Akan tetapi, diri selalu merasa telah melakukan kebaikan dan dengan pede mengaku telah banyak mendatangkan manfaat bagi lingkungan sekitarnya.


Andai
 aku tiada, apakah mereka lantas merasa kehilangan? Atau justru syukur yang mereka rasakan atas kepergian sesuatu yang selalu saja menimbulkan kemudharatan. Yang selalu menghadirkan masalah saat keadaan sudah tenang dan baik-baik saja. Yang selalu mencuri perhatian karena kesembronoannya merusak sistem-sistem yang telah dianggap baik-baik saja.

Tapi, andai aku tidak ada, adakah yang mau menggantikan sunyi ini? Adakah yang mau menggantikan cinta ini? Yang selalu mendekap tanpa melihat atau mendengar. Yang lebih dulu rela untuk tiada daripada memaksakan untuk tetap ada.

Sekalipun aku juga dapat melakukan pembelaan karena sesuatu itu terjadi atas ijinmu, dan semua yang telah sia-sia pun menjadi pelajaran bagi yang lain. Sebaik apapun usaha diri mencoba mengambil peran protagonis, tentu Sang Sutradara-lah yang pada akhirnya berhak menentukan.

Dan akan selalu ada peran antagonis agar semuanya menjadi menarik yang lebih banyak menyimpan hikmah. Hingga pada akhirnya semua tertuju kepada keseimbangan.

Andai suatu saat aku benar-benar tidak ada, jangan takut engkau juga akan kehilangan cintaku. Tetapi juga jangan terlalu banyak berharap engkau akan memilikiku karena aku juga bukan siapa-siapa dan sama sekali bukan apa-apa. Kecuali yang memiliki benar-benar telah menggerakkan untuk engkau miliki.

Bagaimana aku ada tanpa tiada? Dan bagaimana aku tiada tanpa sesuatu yang ada?

 

Sabtu, 17 Oktober 2020

GELAP YANG MENGINGATKAN TERANG

 


Hari dan hari terus saja berlalu. Memberikan pelajaran akan pengalaman yang baru saja dilalui dengan nuansa ataupun romansa yang berbeda-beda. Menampakkan gambaran tentang kemalasan atau perjuangan hidup dalam gerak-gerik manusia. 

Yang menyiratkan ketulusan atau kemunafikan demi sesuatu yang dicintai. Dalam naungan semesta yang tak pernah henti menyediakan rahmat di setiap sudut lelah yang sesekali butuh disandarkan.

Manusia membutuhkan dorongan untuk bergerak mencari sesuatu yang sudah menjadi tujuan dalam niat keberangkatannya. Manusia membutuhkan iman sebagai panduan atau pedoman kemana arah kaki akan melangkah. 

Manusia membutuhkan kendaraan raga sebagai alat mobilitas dirinya untuk menapaki sesutau yang ditujunya. Manusia pun dibekali akal dan hati yang nantinya akan berguna untuk menjaga keseimbangan lakunya dalam usahanya memesrai nasib perjalanan hidup di dunia.

Agar tidak terlalu sakit ketika jatuh. Agar tidak terjebak dalam kesombongan ketika mendapatkan keberuntungan. Atau agar tidak terlalu munafik ketika sedang berusaha mencapai sesuatu yang diinginkan dan agar lebih pandai menikmati segala nikmat apapun keadaannya. Bukankah yang penting tidak terlalu membuat Allah murka atas apa yang kita lakukan?

Segala wajah permasalahan tak lain merupakan manifestasi akan wajah Sang Maha Pengasih.  Begitupun segala prasangka manusia yang terucap merupakan salah satu caraNya agar manusia sedikit demi sedikit mengenalNya. 

Ataupun dari kata-kata yang terbaca tak hanya oleh mata, sehingga mencerahkan cakrawala pikiran pandangannya dan menyibakkan sedikit demi sedikit hijab yang selama ini menyelimuti hatinya.

"Manusia tempatnya salah dan lupa" bukan berarti kita sebagai manusia memandang hal tersebut sebagai wahana pembenaran diri. Ataupun sebagai arena kewajaran bahwa diri selalu terkekang oleh permainan kata tersebut. 

Atau lebih parahnya untuk menunjukkan dirinya bahwa ketika melempar kata-kata tersebut, ia merasa sudah bukan lagi manusia pada umumnya. Sehingga bisa menawar firman-firmanNya, atau seolah-olah merasa Tuhan sedang memesrainya.

Kita telah diperkenalkan dengan keadaan mabuk. Atau hilang kendali atas dirinya sendiri. Dan penyebab keadaan mabuk tersebut bukan hanya karena anggur, namun segala sesuatu yang berlebihan memiliki potensi terciptanya kondisi mabuk. Termasuk ilmu yang seringkali disangka mampu dipelajari dan dipahami, tanpa memperhatikan kesiapan diri.

Jangan mudah puas terhadap sesuatu, akan tetapi juga jangan terjebak dalam rasa puas yang menghalangi asa untuk tetap melangkah. Perjalanan ini masih menyimpan berjuta misteri yang berlapis-lapis layaknya pengetahuan manusia akan lapisan langit, surga, neraka, atau bahkan kasta sosial mereka sendiri telah diklafsifikasikan sedemikian rupa.

Sadar atau tidak sadar, kita sedang dalam mencari kepuasan. Kita merasa mencintai sesuatu, padahal sesungguhnya mencintai tersebut sebagai sebuah cara untuk memenuhi kepuasan tersebut. Kita merasa mengenal sesuatu yang inti, sedang kita enggan menenyam pahitnya kulit kehidupan. 

Kita merasa telah diterima dalam kemesraan, sedang kita jarang menahan diri atau enggan mengalami penolakan-penolakan. Merasa diselamatkan? Tidak ada yang sanggup mengukur keselamatan seseorang atas janji-Nya.

Kemarau pun akhirnya roboh oleh sapaan hujan di tengah teriknya. Menyingkap cahaya yang seharusnya menjadi terang bagi kehidupan yang diselimutinya. 

Sedangkan manusia? Nantinya juga akan roboh oleh kebingungan di tengah luasnya pengetahuan yang telah dimiliki. Seharusnya semua itu akan mendatangkan kedamaian dalam balutan cahaya, namun cahaya itu justru menuntun ke dalam kegelapan.

Lantas bagaimana kita menemukan terang? Kita tidak akan sanggup menemukan terang karena belum benar-benar mengerti tentang terang. Salah satu cara kita memahami terang adalah dengan mengenal kegelapan. Dan kita tidak akan betul-betul memahami kecuali hanya mengira atau meraba saja. Namun setidaknya, janganlah berputus asa terhadap rahmat Tuhanmu!

 

ENTAH DARI MANA RASA ITU ?

 


Sebenarnya aku juga tidak mengerti darimana dan kapan rasa itu tumbuh ketika tatapan matamu menitipkan pertanyaan tentang hal tersebut. Hanya saja, aku sudah terbiasa untuk membagi-bagikan rasa itu kepada yang membutuhkan. Meskipun sebatas kehadiran, atau menemani kesunyiannya dalam relung sepinya kebersamaan.

Kebahagiaan itu selalu datang tanpa memberi tanda akan sapaannya. Sekalipun di sepanjang jalan ini telah banyak yang menawarkan buah kebahagiaan yang sama, hanya dua buah yang tidak bisa aku memintanya dan mengharapkan keberadaannya. 

Sehingga aku hanya bisa menanam biji-biji pemberiannya, tanpa mengharapkan akan memanen buahnya. Berharap nantinya akan banyak yang cukup merasakan nikmatnya, tanpa perlu mengetahui awal kenikmatan yang dirasakan.

Aku tidak pernah sanggup membalas, sekalipun diriku telah dipenuhi denganmu, olehmu, dan untukmu. Karena belum tentu dirimu akan menerima dan senang akan pembalasanku.

Mungkin bisa sebaliknya, kamu justru merasa risih jika aku memberikan hal yang sama seperti yang engkau berikan. Dan yang aku tahu pasti, kamu tidak membutuhkannya.

Dan kalaupun engkau membutuhkannya, engkau akan terus tinggal disini. Sementara aku justru membiasakan berkeliaran dalam kegelapan karena konon dalam kegelapan itu air kehidupan akan ditemukan. Bagaimana aku akan mengajakmu kepada sesuatu yang tidak mengenakkan dan berharap engkau tinggal dalam ketidakenakan tersebut?

Aku ingin kau terus saja membalikkan punggumu, jangan kau layani aku dengan duduk berhadap-hadapan denganku. Aku ingin seperti itu, sehingga yang kau lihat hanyalah nasihat dan sapaan biasa. Namun, jika engkau berusaha menatap mataku, aku tidak mau betapa rasa asih dan rahmat atas rasa itu sendiri terlihat lemah.

Apakah engkau tahu berapa lama aku menahan rasa benci terhadap situasi itu? karena ketika engkau duduk bersamaku, aku takut tidak akan sanggup lagi menahan segala daya yang selama ini tersyirat. 

Aku tidak sanggup lagi menahan kata yang selama ini ingin mengucap. Atau aku tidak tahan lagi menahan kehendakku sendiri, bahwa selama ini aku hanya melihatmu. Persis seperti yang sedang kita alami.

Bualan-bualan itu banyak berserakan, karena orang yang kalut dalam hasrat cintanya hanya akan seperti orang bodoh yang suka menjilat-jilat, mengorbankan kemakmurannya, demi memberi kesan bahagia terhadap kekasihnya. 

Mereka takluk oleh dirinya sendiri ketika melakukan pengejaran sesuatu yang dianggapnya cinta. Sedangkan kebanyakan dari mereka tak sadar bahwa yang mereka inginkan adalah kepuasan hasrat pribadi. Bukan ketulusan apalagi cinta.

Aku sudah sangat biasa hanya melihatmu terbebas dari jasad yang engkau bawa. Oleh karena itu, aku tidak ingin mengharapkan perjumpaan denganmu.

Karena mungkin aku sendiri belum benar-benar cinta dan masih menyimpan hasrat atas kehadiranmu. Aku cinta karena rindu, sedang rindu itu tercipta karena rasa ingin jumpa denganmu.

Kenapa hal tersebut aku tanamkan? Mungkin karena aku tidak butuh balasan apapun, termasuk cinta yang sama. Aku tidak mau kamu menggila dengan melihat segala sesuatunya berawal darimu. Dari satu. Aku hanya akan membawamu ke keabadian dan kekekalan untuk dapat terus merasakan kebahagiaan. Apa yang engkau rasakan kesementaraan, sedangkan yang aku jalani adalah keabadian.

Karena jika aku menginginkan perjumpaan denganmu, maka ketika aku menanam benih-benih rindu, tidak akan pernah aku menginginkan sesuatu apapun kecuali diperjumpakan lagi denganmu. Semua wujud laku mungkin merupakan bagian manifestasi atas keinginan untuk berjumpa denganmu. Cinta ini pun lahir tentu atas kehadiran dan perkenaanmu.

Biarkan aku hanya melihatmu, dan duduk cukup dengan mengingatmu. Kecuali jika engkau ingin menemani kegelapan dan kesunyian ini.

***

"Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya". (18: 110)

-

 

BATU PELAMPIASAN


 


Andai saja batu-batu yang terlempar itu sanggup menyuarakan haknya kepada manusia yang sesukanya sendiri melempar-lemparkan dirinya sebagai senjata untuk melukai manusia lainnya, apakah batu-batu yang berserakan di jalanan itu juga akan melakukan hal yang serupa kepada pemimpin mereka untuk sedikit saja membalas perlakukan manusia? Atau mungkin menangis, merintih, atau meratapi?

Apakah diri sudah merasa cukup adil sehingga tak terbesit sedikit pun rasa pakewuh atau apapun ketika menuntut keadilan? Apakah kita merasa kuat hingga serasa mendapat mandat untuk membela kaum dlu'afa? 

Di masa lalu, kaum yang dilemahkan itu jelas, tapi jika kita menerapkan dimensi ruang dan waktu, apakah kita benar-benar mengerti siapa kaum-kaum dlu'afa itu di masa kini? Apakah dlu'afa dan fakir/miskin memiliki kesamaan makna?

DI zaman sekarang, kita sering salah sangka terhadap mereka yang nampak biasa-biasa saja, baik cara berpakaiannya, kebiasaan hidupnya, bahkan tempat tinggalnya yang nampak akan rubuh, akan tetapi mereka sama sekali tidak memiliki beban hutang sama sekali. 

 Berbeda dengan mereka yang terbiasa hidup glamour dengan pakaiannya yang ber-merk, hidup seperti istana, akan tetapi nominal beban hutang yang ditanggungnya mungkin mencapai sejumlah angka yang sulit dibayangkan.

Orang suka berdalih mencari rejeki berupa materi sebanyak-banyaknya supaya dapat bersedekah lebih banyak. Tapi apa Tuhan menciptakan sesuatu berupa rejeki utamanya hanya hal untuk dicari? Sedangkan Dia sudah pasti memberi kecukupan rejeki pada apapun yang Dia ciptakan. 

Dia Maha Menghitung, hanya saja keterbatasan cara pandang dan berpiir kita justru sering membuat kita curiga terhadap ke-Maha Keadilan-Nya.

Kita tidak perlu bersusah payah mencari bukti atas dalih pencarian tersebut, untuk memilah prioritas antara keinginan dan kebutuhan pun diri sendiri masih nampak kebingungan, terlebih untuk membagi-bagikannya. 

Dan keadaan yang terjadi belakangan ini, itu hanya nampak seperti semakin terbatasnya probabilitas keinginan-keinginan tiap individu untuk dapat diwujudkan sehingga mereka mencari kawan untuk melampiaskan amarah kepada para penguasa.

Ya, hiburan paling menyenangkan adalah melampiaskan amarah atas ketidakberdayaan dirinya dengan cara mencari kambing hitam atas segala ketidaknyamanan keadaan yang sedang dialami. Selain menyenangkan, hiburan ini juga bisa dibilang ekonomis. Sebenarnya kita ini kuat, kenapa mesti merasa dilemahkan?

Jangan sampai kekayaan ilmu yang dimiliki justru membuat diri lupa untuk berendah hati. Jangan sampai kekuatan yang dimiliki menjadikan diri angkuh dan merasa sanggup mengatasi segala permasalahan. 

Jangan sampai kealiman diri melalaikan diri sehingga merasa dekat dan selalu dibela oleh Tuhan. Keserakahan akhirnya memakan dirinya sendiri. Dan berhati-hatlah agar tidak termasuk orang yang lalai dalam sholatnya.

Namun, kata-kata yang tertulis ini tak lantas berniat meghilangkan ketulusan yang sudah dan sedang diperjuangkan. Hanya saja kita perlu menghitung kembali langkah dan kapasitas, sudahkah kita siap? Atau nantinya hanya akan menimbulkan chaos dan merepotkan pihak-pihak yang memiliki tugas membereskan permasalahan yang kita ciptakan.

Untuk menjadi ummatan wasathon, atau kaum penengah pun ternyata tidak mudah. Bahkan, dilirik pun tidak karena sudah tak ada sisi menariknya sama sekali untuk menjadi kaum penengah di zaman yang serba-serbi menawarkan pelampiasan. Mereka menjadi tidak terlalu berhasrat untuk kemenangan dan mereka pun tidak terlalu menggubris kekalahan.

Yang mereka takutkan bukan kekalahan tapi justru kemenangan yang bisa menjadikan dirinya terlena. Yang mereka takutkan bukan kesalahan, melainkan kebenaran yang sedang dialaminya hanya sebuah bentuk ujian atau hukuman. 

Dan mereka takut bukan karena keinginan atau harapannya tidak tercapai. Akan tetapi mereka lebih takut jika mereka tidak diberi keselamatan di dalam kehidupan berikutnya.

Seperti batu-batu yang tak sengaja sering kita jadikan sebagai senjata tindakan anarkis, awalnya mereka terdiam menangisi diri mereka sendiri larut dalam doanya. Karena mendapat kabar bahwa bahan bakar dari api neraka adalah para manusia dan bebatuan.

Akan tetapi, setelah batu itu dilempar oleh tangan-tangan manusia, mereka justru menangis lebih keras. Bukan karena sakit atau kecewa, ternyata rasa syukur telah menanungi mereka, hingga akhirnya Tuhan tidak menjadikannya salah satu dari batu-batu yang berada di neraka.

Maihkah batu tersebut tidak membuat kita berpikir?

 

 

Minggu, 04 Oktober 2020

ADAKAH YANG LEBIH BURUK DARI DIRIKU SENDIRI ?

 



Alkisah ada seorang santri yang telah menyelesaikan pendidikannya di sebuah Pondok Pesantren. Beberapa hari menjelang kepulangannya ke kampung halamannya, santri tersebut dipanggil oleh  Kiai pengasuh pondok pesantren itu.

Dengan tergopoh-gopoh ia mendatangi kediaman Kiainya. Dengan penuh takzim, ia menghaturkan salam kepada Sang Kiai.

“Assalamu'alaikum, pak yai. ngapunten, enten npo ?,  panjenengan manggil kulo ?” (Ada apakah gerangan saya dipanggil menghadap Kiai)”, ucap Santri itu kritikan sudah berada di hadapan Kiai.

“Waalaikumsalam. meneo ndo ” (Kemarilah anakku)” Jawab Sang Kiai. “Engkau telah 15 tahun mondok di sini. Ketika orang tuamu membawamu kesini, usiamu baru menginjak 7 tahun” sambung Sang Kiyai. Kini engkau sudah mengkhatamkan seluruh pelajaran. Saatnya pulang. Kembali ke kampung halamanmu untuk mengamalkan ilmu yang sudah Kau dapatkan di sini”.

“Leres Kiai, saya sudah menyelesaikan semua pelajaran dan saya hendak pamit pulang”. Kata si Santri. “Adakah pesan dan amanat untuk saya, Kiai. Agar saya bisa mengamalkan ilmu yang saya peroleh dengan sebaik-baiknya”. Sambung Santri itu.

“Engkau adalah salah satu santri terbaik di pondok ini. Sebelum Engkau pergi dari pondok ini, aku ingin engkau melakukan satu tugas terakhir”. “Carilah seseorang atau makhluk hidup lain, yang menurut engkau lebih buruk dari dirimu”. Sang Kiai melanjutkan perintahnya : “waktumu 3 hari untuk melaksanakan tugas itu. Kembalilah sebelum waktu 3 hari itu berakhir”

Maka berangkatlah Santri itu untuk melaksanakan tugas terakhir itu. Ia terus berjalan meninggalkan komplek pesantren, menyusuri jalan, melintasi perkampungan. Sampai pada satu ketika ia bertemu dengan seorang pemabuk. Kepada penduduk di sekitarnya ia bertanya siapakah pemabuk itu itu.

Penduduk yang ditemuinya menjelaskan pemabuk itu pekerjaan sehari-harinya “malak”, memajaki para pedagang di pasar dan para pengemudi angkot di terminal. Celakanya, kata penduduk itu, uang yang didapatnya dari hasil malak itu hanya digunakan untuk mabuk-mabukan, judi dan main perempuan.

Santri itu senang, ia merasa sudah menemukan orang yang lebih buruk dari dirinya. Ia merasa, pekerjaannya sehari-hari selama 15 tahun mondok hanya mengaji kitab-kitab dan beribadah seperti yang diajarkan guru-guru dan kiainya. 

Dia tidak pernah punya masalah dengan santri-santri lainnya, karena ia senantiasa berusaha menjalankan akhlakul karimah dalam kesahariannya. Tidak ada iri dengki dalam hatinya.

Karena itulah ia merasa laki-laki pemabuk itu tentulah lebih buruk dari dirinya.

Maka berjalanlah ia menuju pondok pesantren untuk melaporkan tugasnya kepada Kiai. Namun menjelang gerbang pondok ia berhenti.

Ia terduduk di samping gerbang pesantren ia merenung, berpikir, apakah benar si pemabuk itu lebih buruk dari dirinya. Betul saat ini si pemabuk itu buruk perilakunya, juga cara mendapatkan uang. Tapi apakah akan selamanya seperti itu ? Bukankah Alloh itu Maha Membolak-balikan hati, memberi hidayah kepada siapapun hang with dikehendakiNYA Kalau sudah begitu bisa saja akhir si pemabuk itu akan husnul khotimah (akhir yang baik).

Tapi dirinya ? Santri itu bertanya pada dirinya sendiri. Sekarang dia orang yang baik. Tapi setelah dia terjun di masyarakat, bisakah selamat dari aneka godaan ? Apakah tidak mungkin justru akhir dari dirinya adalah suul khotimah (akhir yang buruk).

Sadarlah dia, bahwa si pemabuk bukanlah orang yang lebih buruk dari dirinya. Maka bangkitlah dia dari duduknya. Ia kembali berjalan menjauhi gerbang pesantren untuk sekali lagi mencari yang lebih buruk dari dirinya.

Ia terus berjalan, sampai kemudian menemukan seekor anjing sakit, tergeletak di pinggir jalan. Badannya penuh borok, dari mulut dan hidungnya lendir meleleh. Dicarinya karung untuk membawa anjing itu ke pesantren untuk disetorkan kepada Kiai sebagai bukti ia telah menemukan makhluk yang lebih buruk dari dirinya.

Dipanggulnya anjing sakit yg sudah ada di dalam karung. Ia berjalan dan ketika sampai di depan gerbang pesantren ia kembali menghentikan langkahnya. Dikeluarkannya anjing dari karung, kemudian ditatapnya dengan seksama.

Benarkah anjing itu lebih buruk dari dirinya ? Pikir Santri itu. Benar saat ini anjing itu sakit, badanya penuh borok, sebentar lagi mungkin mati. Tapi ketika anjing itu mati, anjing itu terbebas dari hisab (perhitungan). Ia tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang telah dilakukannya selama hidup.

Sedangkan dirinya, tak akan bisa menghindar dari hisab dan hari pembalasan. Sekecil apapun tindakan dan perilakunya selama hidup di dunia ia akan dimintai pertanggungjawaban.

Sadarlah ia, anjing itu bukan makhluk yang kebih buruk dari dirinya.

Ia kemudian berjalan dengan mantap melewati gerbang pesantren untuk menemui kiainya.

Sang Kiai bertanya, sudahkah ia menemukan orang lain atau makhluk lain yang lebih buruk dari dirinya. Kepada Kiainya, Santri itu berkata : “ngapunten yai, anu.. langkung ala saking kulo, ternyata awake kulo piambek” (Mohon maaf, Romo Yai, yang lebih buruk dari diri saya ternyata diri saya sendiri).

Dengan tatapan penuh kasih sayang kepada santrinya, Sang Kiai berkata : “Janganlah engkau merasa menjadi orang yang paling baik. Karena orang lain atau makhluk hidup lain yang kau anggap lebih buruk dari dirimu belum tentu benar-benar lebih buruk dari dirimu. Jauhilah sifat merasa diri paling baik, karena itu bagian dari kesombongan”.

 

Jumat, 02 Oktober 2020

Eksistensi Atau Pamer diri ?

 

Apa yang menjadi kebutuhan manusia selain sandang, pangan, dan papan? Kalau Anda menjawab pasangan, memang tidak keliru, hanya meleset sedikit. Jawaban yang saya maksud adalah kebutuhan untuk bereksistensi.

Setiap manusia pasti memiliki kecenderungan mengaktualisasi diri. Manusia tak akan sanggup hidup dengan berdiam diri dan terbelenggu dalam suatu ruang. Sebagai makhluk sosial, manusia pasti akan selalu berusaha menunjukkan pada dunia bahwa mereka ada. Oleh karena itu manusia menghasilkan karya, bersosialisasi, dan membuat jaringan. Itu semua dilakukan untuk menunjukan dan mempertahankan eksistensi. Di era modern seperti saat ini, kebutuhan manusia untuk mengaktualisasi diri sangat difasilitasi. Teknologi menghasilkan media dalam jaringan yang sering kita sebut media sosial yang beraneka ragam jenisnya, mulai dari facebook, instagram, line, hingga whatsapp. Semua media sosial tadi memiliki fitur yang dapat menghubungkan manusia satu dengan manusia lain bahkan meski mereka berada pada belahan dunia yang berbeda. Dengan kata lain, jarak dan ruang tak jadi soal.

Media sosial memungkinkan manusia untuk berbagi momen pada orang lain. Misalnya saja ketika berlibur, orang akan megabadikan momen tersebut melalui foto atau video kemudian mengunggahnya pada jejaring media sosial. Hal tersebut juga menjadi salah satu cara untuk bereksistensi. Hal itu tentu bukan suatu kekeliruan.

"Tapi bisakah menjadi keliru?"

"Bisa, jika dilakukan secara berlebihan"

"Seperti apa yang dikatakan berlebihan itu?"

"Ada banyak macamnya. Misalkan saja mengunggah foto atau video nyaris tiap jamnya. Atau mengambil foto hingga ratusan kali bahkan tanpa mengindahkan situasi. Kalau sudah begini bukan lagi sekedar eksis, tapi juga narsis."

"Tapi bukankah setiap orang punya kecenderungan untuk narsis?"

"Betul. Narsis adalah perasaan cinta pada diri sendiri secara berlebihan. Setiap orang jelas memiliki kecenderungan pada hal ini. Namun sebagai manusia, kita memiliki kontrol, bukan?"

"Tapi setahuku mencintai diri sendiri itu penting. Kan ada kaitannya dengan kepercayaan diri?"

"Ya, tepat sekali. Tapi yang perlu digarisbawahi adalah jangan sampai hilang kendali. Mencintai diri sendiri boleh, tapi jangan berlebih. Percaya diri boleh, tapi jangan ke-PD-an. Eksis tentu boleh, narsis yang tak boleh."

"Adakah ciri-ciri orang narsis?"

"Cirinya tentu banyak. Misalkan selalu iri hati pada orang lain karena merasa dirinya lebih unggul. Atau memiliki obsesi tersendiri terhadap kecantikan, ketampanan, atau prestasi. Dan yang paling menonjol adalah mereka selalu ingin dilihat."

***

Memang menjengkelkan jika bertemu dengan orang-orang narsis. Orang kemungkinan akan enggan atau bahkan menghindar jika terlibat dalam situasi yang sama dengan orang-orang narsis. Namun, rupanya sikap yang paling tepat untuk menghadapi mereka dalah dengan memberi rasa iba. Kenapa bisa demikian? Sebab, ternyata orang-orang yang mengidap narsistik memiliki rasa percaya diri yang sangat rendah, meski mereka mengaku memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Hal ini telah dibuktikan dengan secara ilmiah oleh peneliti. Lebih lanjut, peneliti menyebutkan bahwa orang-orang narsis cenderung lebih mudah terkena stres. Alasannya sederhana, mereka selalu ingin mendapatkan perhatian agar muncul rasa percaya diri. Cara hidup seperti inilah yang membuat mereka rawan terjangkit stres.

Ibarat mata koin, kehidupan selalu menyajikan sisi berbeda. Gelap dan terang, hitam dan putih, semuanya telah menjadi harmoni. Begitu pula kehidupan orang-orang narsis. Tak semua yang ada pada diri orang-orang narsis adalah negatif, sudah pasti sisi positif juga melekat dalam diri mereka. Penelitian menunjukan bahwa orang-orang narsis cenderung lebih gigih dan memiliki empati yang tinggi. Namun tetap saja, bila tak ditangani dengan baik, narsistik memiliki dampak yang sangat buruk bagi penderitanya.

Memang sedikit membingungkan untuk memberi batas antara narsis dan eksis. Penting untuk diperhatikan bahwa kontrol terhadap diri menjadi kunci. Kebutuhan bereksistensi penting untuk dipenuhi, namun jika sampai kehilangan kontrol diri, tentu merupakan gejala narsistik. Hal lain yang perlu dipahami; mecintai diri sendiri dengan narsis adalah dua hal yang berbeda, meski nyaris sama. Ya, keduanya sama-sama berkaitan dengan rasa cinta terhadap diri sendiri. Namun, narsistik memiliki kadar yang berlebih sehingga cenderung egois dan mengabaikan orang lain serta lingkungan sekitar. Sedangkan mencintai diri sendiri artinya mampu memahami keinginan diri, tentu disertai dengan kontrol yang baik.Oleh karena itu, perhatikanlah diri anda, masuk kategori manakah anda? Eksis atau narsis?

***

Cahaya yang kau lewatkan

  Andai saja aku biarkan mata ini terjaga agar bisa menyambutmu kedatanganmu, apakah hal tersebut akan menjadi suatu kebahagiaan untukmu? Te...