Senin, 27 Juli 2020

Kini Kamu Hanya Orang Asing Yang Pernah Datang Disatu Ingatan

Transmormasi diri
"Suatu hari, ketika semua baik-baik saja
Kamu mulai mengatur rencana lain.
Diam-diam Kamu simpan niat untuk melepaskan,
kau berharap sesuai rencanamu".

"Entah Tuhan sedang baik padamu, 
atau Tuhan sedang mengujiku ?
Kamu berhasil mengelabuhiku,"

"Kamu meminta semua yang terikat selama ini
hal yang sungguhku jaga hati
ingin segera kamu akhiri." 

"Aku berharap itu hanya Gurauan,
meski hal seperti ini tidak akan lucu untuk dijadikan Gurauan,"

"Namun, ternyata kamu serius,
benar-benar serius.
Kamu menyiapkan segalanya dengan penuh kesungguhan."

"Hal yang aku sesalkan kemana saja aku selama ini ?
hingga tidak tahu Tanaman.
Tanaman di ladangku pun ternyata sudah tidak sepenuhnya ku miliki."

"Katamu, Kamu tidak suka kebohongan, tetapi kamu malah membohongiku.
katamu, kamu tidak suka dikhianati, tetapi kamu malah mengkhinatiku."

'Aku berharap semua hanya bunga tidur,
Bukan sesuatu yang akhirnya membuat harapanku hancur.
Hanya saja, kamu punya cara berbeda."

"Kamu mengaku tidak lagi punya rasa,
Hingga dengan tega dengan setengah memaksa.
kamu memintaku untuk lekas menjauh."

"Katamu, Aku bukanlah rumah yang Nyaman.
katamu, semua yang pernah terjadi,
segeralah buang dan anggap tidak pernah terjadi."

"Hingga suatu hari, Semesta seolah sedang bercanda,
Aku merasa Tuhan sedang menyadarkanmu,
atau Tuhan sedang mengujiku lagi ?"

"Entahlah, rasanya terlalu banyak berubah.
kamu datang lagi dengan sesal dan air mata yang terlihat menetes basi.
Katamu, semua orang bisa saja salah dan semua orang boleh meminta kesmpatan lagi."

"Aku ingin tersenyum waktu mendengarkanya.
Tetapi Kuurungkan, Ku takut air mata palsu itu
semakin membanjiri dan kebohongan terlihat semakin mengalir."

"Entahlah, aku tidak tahu apakah penyesalanmu itu sungguh-sungguh 
atau hanya bentuk kesepian sebab kamu ternyata tidak menemukan yang lebih baik."

"Aku ingin sekali mengulangi kisah manis itu seperti dulu.
Hanya saja, kisah manis itu berakhir begitu menyakitkan."

"Aku yang membangun semua harap,
kamu malah dengan mudahnya membuat berantakan."

"Ingatlah, jangan lupa kalau kamu pernah menginginkanku melupakanmu,
bukankah kamu seharusnya bahagia ? 
Bahagia karena akhirnya aku bisa memenuhi keinginanmu.
melupakanmu dengan sungguh. 
meski memalui proses melelahkan berkali-kali harus berusaha bangkit dari jatuh."

'Tuhan mungkin sedang baik padamu,
Dia menyadarkanmu agar berubah lebih baik.
Namun, itu bukan berarti memberimu kesempatan untuk menjadi bagian hidupku lagi."

"Kenapa malah ingin kembali ?
saat semua perasaan sudah pulih lagi."

"Hidup sudah berjalan, kini kamu hanya orang asing
yang pernah datang di satu ingatan"

"Kamu hanya masa lalu yang mengajari rindu waktu itu,
Bukan lagi seseorang yang penting untuk menjalani apa saja yang kini ku perjuangkan untuk hidupku. Pulanglah, kamu salah rumah."



Minggu, 26 Juli 2020

~Sapardi Djoko Damono, “Aku Ingin”


Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu.

“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada”

~Sapardi Djoko Damono, “Aku Ingin”

 

Sebagian dari kita mungkin sudah tidak asing lagi dengan sajak di atas. Acapkali sajak tersebut dijadikan sebuah pembukaan di undangan pernikahan, status di media sosial, dan atau di sebuah kado. Sajak tersebut merupakan salah satu tulisan Sapardi Djoko Damono.

Selain sajak di atas, Sapardi juga telah melahirkan karya-karya lain yang tidak kalah luar biasa. Seperti puisi berjudul Hujan Bulan Juni, Pada Suatu Nanti, Yang Fana Adalah Waktu, Sajak Kecil Tentang Cinta, Hatiku Selembar Daun, Menjenguk Wajah di Kolam, Kenangan, Sementara Kita Saling Berbisik, Sajak Tafsir, dan lain-lain.

Sapardi Djoko Damono atau yang lebih dikenal dengan SDD lahir di Solo pada 20 Maret 1943 dari pasangan Sapariah dan Sadyoko. Tercatat, SDD pernah menimba ilmu di Fakultas Sastra Inggris di Universitas Gadjah Mada (UGM), dan menyelesaikan doktoralnya di Universitas Indonesia (UI).

Berdasarkan laman resmi Kemendikbud, SDD diketahui pernah menjadi dosen tetap di berbagai universitas. Seperti diantaranya  IKIP Malang Cabang Madiun (1964-1968), Fakultas Sastra-Budaya di Universitas Diponegoro (1968-1973), dan Dosen tetap di Universitas Indonesia (1974-2005).

Sastrawan Sederhana

Pilihan kata yang sederhana dan mampu memunculkan imajinasi yang luar biasa. Dalam, luas, dan tak lekang oleh waktu. Banyak makna hidup yang SDD siratkan dalam suratan kata-katanya. Itulah gambaran dari setiap sajak yang berhasil dikarang oleh Sapardi heran jika banyak seniman yang memusikalisasi puisi-puisi sang maestro.

Bagi yang menyukai karya-karyanya Pak Sapardi Djoko Damono (SDD), tentu tidak asing dengan hal-hal sederhana dalam setiap karyanya.

Seperti dalam sajak berjudul “Aku Ingin”. Dalam sajak ini, Sapardi tidak memunculkan kata-kata yang melankolis, apalagi menggunakan istilah-istilah roman picisan. Namun, Sapardi lebih memilih diksi yang sangat sederhana. Api, abu, dan angin.

Itulah, betapa sederhanya sajak Aku Ingin”. Namun siapa yang dapat menyangkal, jika didalam sajak yang sederhana tersebut menyimpan makna yang mendalam.

Dalam sebuah talkshow di Mata Najwa, oleh Joko Pinurbo atau yang biasa disapa Jokpin, sajak “Aku Ingin” dianggap sebagai sebuah ungkapan kasih tak sampai. Jokpin juga menyebutkan bahwa puncak dari sebuah hubungan antara laki-laki dan perempuan adalam sebuah kesederhanaan dalam sebuah ikatan. Namun, untuk mengejawantahkan sebuah hubungan yang sederhana inilah yang justru tidak sederhana.

Selain sajak berjudul “Aku Ingin”, sajak berjudul “Hujan Bulan Juni” juga tidak kalah familiar. Bahkan sajak ini juga dijadikan sebagai sebuah judul buku kumpulan dari puisi-puisi SDD. Buku ini juga diangkat kedalam sebuah film dengan judul yang sama, dengan Velove dan Adipati Dolken sebagai pemeran utama di dalamnya.

Dalam novel tersebut, SDD menciptakan sebuah misteri dan tanda tanya di setiap babnya ini. Sungguh bisa membuka cakrawala bagi pembacanya. Selain itu, pembaca juga sedikit banyak akan terinspirasi oleh ciri khas penulisan novel penyair besar milik Indonesia ini.

Jika puisi-puisi Pak SDD telah dikenal luas, bahkan dikutip di mana-mana, maka prosa dalam buku Hujan Bulan Juni bisa membuat pembaca muda mengenal lebih dalam dunia kreativitas Pak SDD.

Saya sendiri memang baru menyelesaikan membaca novel itu beberapa waktu lalu. Dan saya sendiri pun tidak menyangka bahwa saya mendapatkan begitu banyak hal  pasca novel itu saya baca habis.

Beberapa hal yang saya dapat, misalnya, kebudayaan dari berbagai tempat seperti Solo, Menado, dan Jepang. Kemudian tentang bagaimana cara berpikir orang-orang Jawa (Solo) yang berbeda dari pada cara berpikir orang-orang Menado.

Dengan memahami itu, kita juga bisa memahami bahwa kebudayaan setiap entitas suku bangsa juga sudah pasti berbeda, kan?

Lalu cara Pak SDD meramu kelucuan sepasang insan yang (diduga) saling jatuh cinta. Kalimat-kalimat dan dialog-dialog antara tokoh lelaki bernama Sarwono dan tokoh perempuan bernama Pingkan, mampu membuat pembaca merasakan kedekatan antara tokoh-tokoh itu dengan diri pembaca sendiri.

Misalnya bagaimana ketika mereka saling ledek padahal mereka sedang saling merayu. Dan itu mengingatkan kita pada kondisi seperti saat cinta lokasi atau terbelit rasa pada salah satu teman kita.

Selain dua hal di atas, masih banyak hal-hal  menarik dan unik lain di dalam novel ini. Kejutan-kejutan pun akan bisa dirasakan pembaca menjelang akhir cerita.

Ada satu pertanyaan yang masih membuat saya penasaran pada kisah novel ini. Yaitu mencari titik temu antara puisi Hujan Bulan Juni dan gagasan besar dalam novel itu. Barangkali perlu perenungan ekstra atau saya sendiri yang kurang jenius untuk memaknainya.

Terlepas dari itu semua, ini bukanlah resensi buat novel tersebut, hanya sepatah komentar yang ingin dibagikan kepada teman-teman sekalian. Kini sastrawan besar Indonesia ini telah tiada.

Kendati demikian, semoga karya-karya Eyang Sapardi akan mampu menelurkan Sapardi-Sapardi baru yang mampu mengharumkan nama Indonesia. Selamat jalan, Eyang. Trimakasih atas semua karyamu yang luar biasa. Wallahu A’lamu bi al-Shawab.

Jumat, 24 Juli 2020

KERINDUAN DAN KEBIJAKSANAAN

Belajar dari hujan
Belajar dari Hujan

"Kerinduan dan Kebijaksanaan Bisa Datang dari Sikap Kita Seperti Memaknai Arti dari Derasnya Hujan yang Tercurah dan Mengalir Membasahi Bumi.... Sehingga Seberapa Sering pun Hujan Turun dengan Ciri Khasnya, Ia Pasti Kembali Lagi untuk Menghidupkan Bumi Kita yang Kering."

"Hujan Sebenarnya Telah Mengajarkan Kita Tentang Arti Sebuah Keikhlasan.... dan Hujan juga Mengajarkan Kita Tentang Makna dari Suatu Bentuk Perjuangan."

"Sungguh Orang - orang yang Berjuang Dengan Ikhlas, Takkan Pernah Berhenti Meski Terjatuh Berkali - kali, Layaknya Air Hujan yang Senantiasa Kembali dan Membumi."

"Merasa Kecil Karena Kebesaran Alam Bisa Membuat Seseorang Peduli Dengan Orang Lain.... Alias Dermawan. Bahkan Perasaan Seperti ini Mendorong Seseorang untuk Terpanggil & Membantu Menyejahterakan Kehidupan Orang Lain.
Jadi Jangan Terbawa Perasaan Jika di Antara Kita Sering Merasa Bagaikan *SEBUTIRAN DEBU*.

Hasilnya Menyebutkan Bahwa Seseorang yang Merasa Kecil & Menganggap Dirinya Bagaikan *SEBUTIRAN DEBU* Karena Dalam Dirinya Mengakui Kemegahan Alam dari Sang Kuasa... Ternyata Orang Tersebut Bisa Lebih Dermawan, Bahkan Orang itu Ternyata Lebih Peka juga Tergerak Hati untuk Membantu & Menolong Orang Lain, Bahkan Mahluk Lain di Muka Bumi ini."


Rabu, 22 Juli 2020

WAKTU ITU, AKU LENGAH

pohon kering
Ketika
bulan Mei pergi, maka Juni menjelang sampai padaku.
Waktu dan umur berlarian tiba, ketika jendela kupu-kupu tarung kubuka.
Cahaya pagi pertama membayanglah, menembus sudut-sudut berdebu.
Lalu bau lembab menjelma uap halus yang pergi diam-diam, melalui jendela yang terbuka.

Matahari pertama di awal bulan Juni ini akan menjadi penanda bagiku, lebih tepat kusebut sebagai pelajaran atas waktu yang tak pernah menunggu. Seolah umur memanjati pohon waktu itu, sampai ke setangkai dahan, tak pernah sampai pada puncak waktu itu. Sesungguhnya hanyalah misteri yang buram.

Juni adalah bulan kelahiranku. Aku pernah bangga terlahir di bulan Juni, merasa memiliki sifat-sifat seperti Sukarno, jiwa yang memimpin, berani berkorban demi bangsa, populer dan dikagumi para wanita. Kebanggaan semu yang ternyata tak menjelaskan apapun, bagaimana juga kekaguman itu tak membawaku kemana-mana.

Pada akhirnya seiring waktu pula itu menjadi hal yang biasa. Hingga aku punya kesadaran untuk menerima diri sendiri sebagai makhluk unik yang diciptakan Tuhan dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Dapat kukatakan sejak itulah aku berhenti mengidolakan orang lain secara membabi buta. Kekagumanku pada seseorang tokoh atau publik figur seperlunya saja. Aku percaya sebagai manusia merekapun tak akan pernah merasa sempurna. Selalu merasa kekurangan dan tidak puas. Ada beberapa yang justru begitu takut menghadapi masa depannya sendiri, sehingga tak risau jika harus berselisih dengan sejawat sendiri.

Namun kupikir ini hanya dampak perubahan usia saja yang membuat aku makin matang dan dewasa. Juni adalah bulan yang indah. Sapardi bahkan menuliskan cerita tentang Hujan Bulan Juni dan karyanya itu bukan sekedar kumpulan puisi tapi sudah pula bermetamorfosa menjadi film. Mengagumkan sebagai pencapaian dari sebuah karya.

***

Aku lahir di bulan Juni, dan ada kurasakan keharubiruan jika aku membaca sajak-sajak Sapardi itu.

Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan Juni
Dihapusnya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
Diserap akar pohon bunga itu

Sapardi Djoko Damono dalam Hujan Bulan Juni kadang membuatku bertanya, dari mana ide tentang hujan yang jatuh di bulan Juni itu?

Sebab di sini Juni sudah masuk dalam bulan-bulan kemarau. Kau bisa membayangkan cuaca panas dan terik berdebu, tanah yang rengkah, bunga-bunga yang layu, semua idiom yang tepat dengan kemarau itu harusnya dibulan Juni, bukan hujan. Namun bukankah musim sekarang ini dilanda anomali dan sungguh sulit diterka. Dan aku merasakan karena sifatnya yang anomali itu, maka hujan bulan Juni adalah romantisme tersendiri.
Di atas semua itu ada kesadaran yang makin hadir dalam kehidupanku. Ya, umur yang terus bertambah, anak-anak semakin besar dan makin memerlukan perhatian. Mereka akan meneruskan sekolah kejenjang yang lebih tinggi secara bersamaan di tahun ini, di era new normal yang mulai disosialisasikan para penguasa republik.
Era baru di tahun 2020 telah dimulai dengan munculnya virus berbahaya bernama covid 19 yang mengenalkan cara-cara baru, konsekwensi-konsekwensi baru, ketakutan-ketakutan baru. Semua yang akan mungkin menjadi tatanan dunia baru seperti teori konspirasi. Terkesan seperti hoax, mungkin tak seserius itu. 
 
Tapi kawan, akan selalu ada orang-orang yang memanfaatkan situasi umum yang sulit untuk menumpuk kekayaan sendiri. Seperti tokoh Cottard dalam Novel Sampar Albert Camus. Juni ini menjadi sebuah waktu dalam suasana yang penuh ketakpastian. Dan meski berusaha untuk selalu riang tetap saja ada sudut yang menyimpan ketakutan. Apalagi kebijakan pemerintah seperti tak mampu memberikan rasa nyaman bagi warga masyarakat, sering berganti dan kurang tegas.

***

Juni adalah bulan yang kukenang dan setiap kehadirannya selalu kusambut dengan sepi. Aku nikmati sendiri atau dengan orang yang benar-benar dekat. Entah mengapa aku tak pernah bisa masuk dalam kekenesan merayakan ulang tahun dengan menyanyikan lagu Jamrud atau lainnya sambil yang berulang tahun meniup lilin pada sebuah kue tar.

Aku tak pernah ingin seperti itu, namun aku bisa menenggang jika teman-temanku bersikap seperti itu, dan aku akan ikut bernyanyi dengan gembira dan menerima pembagian kue atau tumpeng. Ya setiap orang punya pilihan dalam merayakan hari jadinya, kita perlu juga menghargai setiap pilihan itu.

Aku setelahnya merenungi arti kelahiran ku ini, dan pada waktunya aku sampai pada pertanyaan didalam hatiku, berapa lagi sisa umurku? . Jika ada yang akan merahasiakan tahun kelahirannya dengan alasan tertentu, aku sebaliknya akan berterus terang soal itu. Tak ada keberatan diriku akan pengetahuan orang lain tentang ini. Biasanya mereka akan berkata; kau awet muda.

Aku akan tertawa kecil, merasakan kejujuran dalam ucapan itu, sebab aku merasakan banyak teman kecilku yang kulihat lebih tua dari umurnya. Sebagai anak lelaki tunggal dalam keluarga tak ada keistimewaan soal ini, selain yang kuingat ibu akan merebus banyak telur dan membagikannya dengan rekan-rekanku, tanpa perayaan, tanpa ucapan yang khusus. Lebih tepat kukatakan keluarga kami tak terbiasa.

Ibu kehilangan dua bayi laki-laki sebelum melahirkan aku. Aku tak mengetahui sebabnya karena ibu pun tak pernah ingin bercerita tentang ini. Kami lalu pindah rumah meninggalkan dua kuburan bayi itu dirumah lama yang dekat dengan pasar di kota kecamatan, kesebuah tempat yang lebih sepi dan di sanalah aku lahir.

***

Entah mengapa setiap menjelang Juni aku akan melihat penjual kaos online menjajakan kaos bertuliskan Lelaki Terbaik Lahir di Bulan Juni. Tapi aku tak pernah membeli, itu bagiku tak lebih strategi dagang selain itu bahannya buruk.Bukan karena Juni merupakan waktu kelahiran pria terbaik seperti bacaan pada kaos itu, tapi bertaburan tanggal penting pada bulan Juni, ini yang lebih mengesankan buatku.

Pada bulan Juni aku akan mengenangkan hari pernikahanku pada tanggal paling ujung dibulan itu. Dan apakah ini suatu kebetulan saja, putri pertama kami lahir setahun kemudian tepat ditanggal tersebut.

Aku mengingat pernikahan kami dengan sederhana,ayah begitu senang ketika itu. Setelah pernikahan kami ia merebahkan diri dengan senyum puas di tilam dan berkata,ia tak akan keberatan jika Tuhan mencabutnyawanya.Ia meninggal satu tahun setengah setelah pernikahan kami.

Hari-hari yang kuhadapi semakin keras. Pada waktu-waktu tertentu aku mesti mempertaruhkan keberanian untuk mendapatkan sesuatu. Saat itu aku hanya percaya pada persahabatan, dan mulai membangun aliansi dan jejaring, mencari momentum yang tepat untuk melompat lebih tinggi.

***

Usia perkawinan kadang menua tanpa kita sadari. Setelah menjalani banyak hal bersama, tak dirasa umur terus berjalan diantara hempasan jeram kehidupan.
Yang terjadi hari ini sudah pasti berbeda dengan dulu, bukankah waktu selalu membuat kita berubah?. Kami juga tanpa dirasa sudah akan 16 tahun berlayar melewati samudera hidup.
Sebuah surat tiba-tiba muncul dari lipatan buku belajar menulis karangan Mochtar Lubis. 

Menyentak kan ingatan ke masa muda yang jauh.
Hidup memang terasa sulit bahkan sekedar tuk dimengerti.
Tapi keyakinan bukanlah sebuah keyakinan jika tak dijalani.
Apa yang kita bicarakan semalam adalah refleksi kemelut batinku beberapa hari ini.
Aku yakin bersamamu bisa mengatasi badai kehidupan dan berjuang mengalahkannya.
Aku yakin dengan kasihsayang kita dapat bersama untuk tegar mengatasi rintangan.
Masalahnya bagiku saat ini, seberapa jauh aku bisa menanamkan keyakinan yang sama di hatimu.
Sementara saat ini aku bukanlah apa-apa, sebuah hal yang harus kuakui dengan kejujuran terdalam.
Kelebihan yang kumiliki hanya aku tidak terlahir untuk menjadi orang lain.
Aku ingin menjadi srigala yang mengaum keras ditengah gerombolan srigala lainnya.
Aku ingin menjadi pohon kukuh yang tersisa setelah lewat hempasan badai.
Aku ingin menjadi pelaut tangguh yang menaklukkan ombak samudera.
 
Dan aku butuh lebih dari sekedar teman untuk wujudkan impianku.Seseorang yang penuh dengan keyakinan menerima rengkuhan cintaku dan membalasnya.Sebuah kalimat untuk lebih mudah kau mengerti : aku menginginkanmu. (*)

Senin, 13 Juli 2020

KEGAGALAN MANUSIA MODERN DAN MANUSIA TRADISI

Apa yang diketahui oleh manusia tentang spiritualitas ? tentang ruh, jiwa ( juga sukma, perasaan, roso, nafs, dan seterusnya), serta hubungannya dengan dunia fisik ?


pariwista kehidupan

        Manusia memiliki kesanggupan terbatas untuk menggali sendiri pengetahuan tentang masalah itu, tetapi di luar batas eksplorasinya itu, manusia juga membutuhkan informasi dari wahyu Allah. Karena itulah agama diperlukan oleh manusia bukan sekedar sebagai “peraturan” tetapi lebih penting lagi sebagai informasi ilmu, yang sesungguhnya merupakan landasan mutlak bagi setiap dimensi hukum yang dikandung oleh agama.

           Ekplorasi ilmu tradisonal terhadap dunia spiritualitas cenderung terjebak pada takhayul, klenik atau mitos. Sementara masyarakat modern kurang “berselera” untuk memasuki wilayah spiritualitas, dan terjebak pada semacam ketidakpercayaan terhadap spiritualitas. Dengan kata lain, orang tradisi “menyembah hantu” sedangkan orang modern “menyembah batu”.

            Oleh karena itu, akan berkesimpulan pada titik ekstem yang tertentu, baik masyarakat tradisi atau masyarakat modern terjebak pada kegagalan cukup serius dalam usahanya merumuskan perjalanannya menuju penyatuan diri kembali ke hakikat Tuhan, hakikat alam, dan dengan demikian juga hakikat kemanusiaannya sendiri.

            Berangkat dari filosofi manusia modern yang ingin menaklukan alam, sedangkan filosofi manusia tradisi yang ingin menyatu dengan alam. Akan membuahkan konsekwensi manusia modern mengatasi alam, menteknologikan alam menjadi budaya karena memang salah satu ciri manusia modern yang berwatak dinamis, sementara manusia tradisi berwatak pasif dan konservasif dalam arti manusia tradisi cenderung menerima apa adanya dan kolot mempertahankan budaya yang sudah ada, mungkin itu karena berfilosofi melebur alam. Lalu mana yang “benar” daintara keduannya ?

            Memandang filosofi yang berbeda diantara keduannya. Dinamika manusia modern dengan teknologinya akhirnya terjebak dengan kekeringan ruhani karena perjalanan ke depan mereka memakai perspektif waktu yang linier ( selalu bergerak lurus ), hampir jadi, langkah ke depan mereka adalah langkah menjauh dari alam dan Tuhan. Perlu dingat sebenarnya dalam islam memiliki konsep wa ilaihi turja’un : kepergian hidup manusia ini kembali kepada Allah, artinya perjalanan ke depan sekaligus kembali ke “belakang”. Konsep waktu dalam islam adalah siklis, membulat, atau melingkar. Sedangkan  secara filsafat, perjalanan manusia modern dirumuskan dalam orientasi eksisitensialisme - menyuruh dirinya sendiri menjawab keadaan yang menimpanya -, dan itu artinya menjauh dari Allah, atau dengan bahasa islamnya ; anti tauhid.

            Sementara pada masyarakat tradisi –yang sebenarnya memiliki konsep waktu siklis- metode untuk “kembali ke Allah” itu ditempuh tidak dengan kata “maju ke depan” tetapi dengan “berjalan di tempat” atau “balik ke belakang”. Jadi, baik manusia modern maupun tradisi melakukan tarekat yang masing-masing memiliki kekurangan, bahkan bisa dikatakan keliru. Manusia modern sukses mengkhilafahi alam, tetapi keliru orientasinya sehingga tidak taqorrub kepada Allah. Sementara manusia tradisi bertahan dekat dengan Allah, akan tetapi gagal melaksanakan kekhalifahan yang dinamis.

            Sebenarnya ini adalah peta peradaban yang sangat luas sekali, tugas kita sebagai manusia seutuhnya ialah fokuskan pada persoalan pariwisata kehidupan. Pariwisata kehidupan adalah fenomena religius, yang mana dengan sebab itu manusia modern dapat memasuki proses teknologi kebudayaan, yakni arah menjauh dari alam, kemudian menciptakan peluang-peluang khusus untuk kembali ke alam, lalu kembali kepada Tuhan. Kerapkali kegagalan ruhaniah ( spiritual ) kebudayaan modern itu sebab kegelisahan oleh “alam bawah sadar” mereka sehingga kemudian di telurkanlah antara lain alternatif budaya yang bernama pariwisata kehidupan.

             


Minggu, 12 Juli 2020

UNTUNG TUHANNYA TAK MAHA BINGUNG


"Tak jarang sesuatu yang engkau benci ternyata baik bagimu, begitu pula tak jarang suatu yang engkau anggap baik ternyata buruk bagimu. karena Allah mengetahui mana yang terbaik untukmu, sedangkan engkau tak tahu"

Despresi
Despresi berat

Ketika gunung-gunung, samudra, dan semua makhluk yang ada di bumi mengajukan protes ke langit tentang banyak perilaku biadab umat manusia yang terus saja merusak alam dan bahkan merusak dirinya sendiri, dan kemudian gunung itu minta izin agar diperbolehkan meledakan diri mengalirkan lahar panas dan batu-batu untuk menghancurkan kota-kota manusia.

Allah SWT menjawab bahwa tolol benar manusia bersedia dijadikan khalifah di bumi, padahal gunung, jin, badai, dan lain-lainya menolak. Celakanya sang khilafah ini, berbuat tidak tidak lebih baik dari bintang-bintang dan pepohonan yang senantiasa bersujud kepada-Nya.

Manusia sungguh memang aneh. Bagaimana mungkin ? mereka menuruti kemerdekaan sampai tingkat mabuk, mengambil apa yang bukan haknya, dan tidak menyampaikan apa yang seharusnya mereka salurkan.

Mentang-mentang Allah SWT tidak pernah membuat mata mereka buta sebelah, rambut rontok, dan tiba-tiba kaki lumpuh ketika bangun tidur pada pagi hari. Mentang-mentang Allah setia menjaga nikmat-nikmat-Nya untuk berlaku pada manusia, meskipun hamba-Nya ini tidak mematuhi-Nya, bahkan membohongi-Nya dari berbagai hal.

Memang Allah amatlah mencintai hamba-hamba-Nya. Meskipun Dia tampak begitu bersusah payah berusaha menyakinkan agar manusia mempercayai-Nya. Pada saat lain, Dia seolah-olah murka  karena Dia tak dinomorsatukan, tapi malah di persatukan dengan benda-benda dan nila- nilai yang remeh dan sepele, sehingga seandainya Dia adalah manusia, maka akan tumbuh rasa cemburu dan rasa sakit yang mendalam.

Sebagimana dalam firman-Nya tak jarang Dia seakan-akan bertanya: “Apa lagikah yang engkau dustakan dari Nikmat-nikmat-Ku ?” “Utusan-Ku itu bukanlah seseorang pembohong, kenapa engkau tak percaya ?” “Bukankah telah Aku lapangkan dadamu ? Bukankah telah ku letakan engkau ditempat yang lebih berderajat ?....

Disamping Allah tak habis-habisnya memberi, sementara manusia tak habis-habisnya menuntu. Allah tak jera-jeranya mencintai, sementara manusia tak kapok-kapoknya membelakangi.

Sementara itu, diantara sesama manusia saja pun diperlukan pengertian tentang kelayakan pada setiap orang untuk memaafkan. Suatu keadaan yang relevan untuk dikutuk dan keadaan lain yang pantas untuk dimaafkan.

Ditambah lawakan penyair abu nawas : “Dosa-dosa hamba bagaikan timbunan pasir di sepanjang pantai. Maka, siapa lagi yang pantas mengampuni hamba selai Engkau, ya Rabbi ?” “ Hamba ini tak pantas menjadi penghuni surga, ya Allah, tetapi kalau harus masuk neraka, ya……. Janganlah”. Manusia memang terkesan manja tatkala hal merintih meminta doa, dan seakan-akan pintanya tak masuk akal membuat bingung saja, untung Tuhannya tak maha bingung.

Surah Al-Fatihah mengajarkan, Allah menuntut manusia untuk pertama-tama mengapresiasi dan memuji-Nya, baru meminta tolong dan perlindungan. Dari situlah manusia baru layak mohon ampun, minta pertolongan, dan perlindungan kepada siapa pun –apalagi kepada Allah- apabila dia telah menunjukan apresiasi atau penghargaan kepada pihak yang dimintai ampun dan pertolongan.


HATI YANG GIGIH


Tirulah mereka ulama yang sukses bukan memandang karena mereka sukses melainkan betapa susah jerih payahnya berusaha.

ayo mondok pesantrenku keren
Kalau alasanmu berhenti belajar karena sulit memahami pelajaran, maka ingatlah kisah Syaikhur Rois Ibnu Sina. Beliau membaca kitab "ma ba'da thobiah" milik Aristoteles sebanyak 40 kali, hingga hafal lafadznya tapi tak satu permasalahan pun yang beliau pahami, bahkan beliau tidak paham apa tujuan penulis menulis buku itu hampir putus asa. Lalu ketika beliau berjalan ke toko buku bekas, ditawari buku karangan imam Al-Farabi, awalnya sinis, merasa ilmu yang dibaca tidak ada manfaatnya, tapi karena buku tersebut itu murah, hanya 3 dirham, akhirnya beliau beli. Ketika beliau membaca buku itu, tiba-tiba kerumitan buku Aristoteles terbuka, beliau akhirnya paham, dan menjadi imam dalam ilmu filsafat.

Di tarik hikmah cerita diatas bahwa kita tidak tahu kapan Allah swt membuka kepahaman, tapi lebih dekat kepada orang yang berusaha.

Al-Farabi yang bukunya membukakan pemahaman pada imam Ibnu Sina lebih dasyat lagi, membaca kitab nafs-nya Aristoteles sebanyak 200 kali, kitab "assama' at-thobii " 40 kali. Pantas saja beliau mampu menyederhanakan kitab "ma wara thobiyah", buku-buku Aristoteles sudah mendarah daging bagi beliau. Beliau pandai 70 bahasa asing ( shafahat min sabril ulama ).

Ketika kau ingin berhenti belajar karena keterbatasan ekonomi, maka ingatlah kisah Syaikhul Islam Zakaria al-anshori. Yang pergi ke Al-Azhar Mesir tanpa kenal siapa pun, beliau sering sekali ketika lapar saat malam hari, keluar masjid, mengumpulkan kulit semangka yang dibuang didekat kolam wudhu', dibersihkan lalu dimakan. Berkat kesabaran ini beliau menjadi mujadid, berjuluk Syaikhul Islam. ( Thobaqot Al kubro, imam Sya'roni )

Kalau kau ingin berhenti belajar karena disuruh orang tua untuk bekerja, maka ingatlah kisahnya Syaikh Hasan Al-atthar. Beliau secara diam-diam memanfaatkan waktu luang kabur dari warung ayahnya untuk menghafal dan belajar di Al Azhar. Setelah kepergok oleh ayahnya, ternyata al-atthar kecil sudah hafal Alquran, melihat keadaan demikian ayahnya pun terharu lalu mati-matian membiayai Al-atthar belajar di Al Azhar. Hingga jadilah Syaikhul Azhar, yang mana karanganya sering dijadikan rujukan. Hingga menjadi perumpamaan permasalahan yang sangat sulit, " bahkan Syaikh Hasan Al-atthar tidak bisa memecahkannya, " karena ketajaman pemikirannya.

Ketika kau ingin berhenti belajar karena yatim piatu, ingatlah Syaikh Ahmad zarruq, yang hidup sejak kecil dibawah didikan neneknya. Neneknya mengajarkan iman tauhid dan tawakal dengan cara unik. Beliau menyiapkan makanan, lalu diletakkan dipojok rumah. Ketika beliau datang si nenek bilang ; " aku tak punya apa-apa, berdoalah, rejeki semuanya ada pada perbendaharaan Allah." Maka Sheikh Ahmad zarruq kecil pun berdoa, selesai berdoa neneknya berkata : " lihatlah dipojok tiang rumah, siapa tahu ada makanan, rejeki itu tersembunyi, kita berusaha mencarinya". Ketika zarruq kecil menemukan makanannya beliau sangat senang dan bertambah keyakinannya kepada Allah.

Kalau alasanmu berhenti belajar karena belum dikaruniai pasangan, maka ingatlah Imam Nawawi, imam atthobari, al-qifti, Syaikh Ibnu Taimiyah, imam asy-syairozi, dan banyak lagi. Mereka mampu menjadi imam meski tidak ada yang mendampingi. Ternyata lebih banyak contoh ulama yang menjomblo dari pada alasan-alasan yang lain. Hehe..

Jadi tak ada alasan untuk berhenti mencari ilmu sesulit apapun cuma dengan modal usaha dan sabar pasti akan memetik buahnya.
Ayo !!! Santri yang belum berangkat supaya berangkat , terutama santri At-tauhidiyah baik santri putri/putra.

PENTINGNYA TAHU ISTILAH DALAM ILMU



من لم يعرف الإصطلاح فقد تغير معني المراد

"Ketika tidak tahu istilah dalam mengkaji ilmu atau yang lain, maka akan merubah makna topik yang dikehendaki".


Tau Istilah
Berawal dari ilmu logika,yaitu ilmu Mantiq,Banyak kalangan yang menggugat ilmu mantiq salah satu sebabnya karena para manthiqiyin mendefinisikan al-Insan (manusia) dengan "hayawan nathiq / حيوان ناطق (hewan yang berfikir)". Mereka tidak setuju karena mendifinisikan manusia dengan hewan menunjukan konotasi negatif merendahkan derajat manusia sebagai makhluk yang dimuliakan.

Hewan yang dimaksud dalam istilah ilmu mantiq bukanlah dalam artian binatang seperti keledai, namun "hewan / حيوان " dalam istilah mantiq adalah jasmani yang bertumbuh kembang, mempunyai indera, dan bergerak atas kehendaknya (ٍجِسْمٌ نَام حَسَّاسٌ مُتَحَرِّكٌ بِالإِرَادَة). Manusia mempunyai keempat unsur yang disebutkan tadi, bertumbuh kembang, mempunyai indera, dan bergerak atas kehendaknya, maka manusia masuk ke dalam kategori hewan.

Dari definisi hewan yang dijabarkan ahli mantiq, jelas tidak ada konotasi yang merendahkan derajat manusia, maka jelas gugatan seperti ini menunjukan ketidak pahaman akan istilah ilmu mantiq si penggugatnya. Beginilah kasusnya akibat tidak memahami istilah ilmu dengan baik.

Para ulama mantiq (logika) mengartikan ilmu sebagai :
(مَجْمُوعُ المَسَائِلِ الَّتِي تَضْبِطُهَا جِهَّةُ وَحْدَةٍ)
( Kumpulan permasalahan yang mempunyai titik fokus pembahasan yang satu )
Ada kumpulan permasalahan titik fokusnya pada pembahasan angka, disebut ilmu Matematika. Ada kumpulan permasalahan titik fokusnya adalah perubahan akhir kata bahasa Arab, disebut nahwu. Begtu pula ada kumpulan permasalahan yang titik fokusnya adalah mengatur kaidah berfikir, disebut dengan mantiq (ilmu logika) dst.

Kumpulan permasalahan yang dibicarakan oleh ahli ilmu tentunya dengan bahasa khusus. Bahasa khusus yang digunakan ahli ilmu disebut istilah / musthalahat.

Oleh karena itu pintu awal masuk mendalami sebuah ilmu adalah dengan memahami baik bahasanya (istilahnya). Hal tersebut tidaklah mudah. Banyak ulama yang berusaha memudahkan para pelajar untuk menguasai istilah-istilah suatu ilmu dengan membuat ringkasan / mukhtasarat. Jika mukhtasarat saja belum dikuasai musthalahatnya, maka bagaimana bisa mendalami permasalahan ilmiah pada kitab induk?.

Hal yang lebih sulit lagi ketika menelaah sebuah karya ilmiah namun penulisnya banyak menggunakan musthalah yang beda dari istilah yang digunakan kebanyakan ahli ilmu, maka mau tidak mau harus ditelusuri semua tulisannya.

Tidak heran, jika para ulama banyak membukukan kumpulan _musthalahat_ /istilah dari setiap ilmu menjadi satu buku khusus agar mudah membedakan istilah setiap ilmu, seperti : at-Ta'rifat karya Syarif Jurjani, al-Kulliyat karya al-Kafawi, Majmu' Musthalahat Ulum atau yang dikenal dengan Dusturul Ulama karya Abdun Nabi Nakri, dll.

Boleh jadi ada kata yang sama yang digunakan di berbagai ilmu. Sebut saja wajib. Fikih menggunakannya, ilmu kalam juga, bahkan ilmu tajwid memakainya pada bab mad. Masing-masing disiplin ilmu punya artian sendiri tentang wajib.

Tidak memahami dengan baik istilah ilmu akan berujung kepada buruknya memahami permasalahan ilmiah, bahkan akan terjatuh kepada mughalathat / musyaghabat .

Begitupula, jika berdebat tentang ilmu tanpa ada musthalah yang disepakati terlebih dahulu antara para pendebat, akan menjadi debat kusir yang tidak membuahkan hasil, karena antara pihak satu dan yang lainnya hakikatnya berbeda topik pembicaraan, atau yang sering disebut dalam Adabul Bahsi Wal Munadzarah dengan al-Jihatu Munfakkah (الجهة منفكة), tidak ada kesamaan objek pembicaraan. Maka akan berdampak Sia-sia.
_______

Sabtu, 11 Juli 2020

MUHAMMAD SANG PEROMBAK PERADABAN


============

Teologi islam telah memandu kita bagaimana memilih assembling dari masa depan terbaik dan termulia. Filosofi islam membimbing kita untuk merancang jenis kemakhlukan macam apa kita akan menjadi kelak. Dan kosmologi islam memberi pilihan kepada kita akan merekayasa diri menjadi benda setingkat debu, menjadi energy yang gentayangan jadi hantu dan klenik, atau menjadi api dan kayu bakar penyiksa diri sendiri, atau Alhamdulillah kita lulus menempuh transformasi dari materi ke energi lalu ke cahaya.

Cahaya cikal-bakal yang pada abad ke-13 dimanifestasikan melalui sesorang laki-laki yang progresif menentang arus, menjajakan tauhid di tengah-tengah berhala, yang bersedia menggenggam pedang untuk mempertahankan diri dan menegakkan nilai, dan yang bersedia tidur beralaskan daun kurma. Yang kalau lapar, dia merasa pekewuh untuk meminta sehingga mengganjal perutnya dengan batu, dan yang punya bargaining power untuk berkuasa, tetapi memilih hidup melarat.

Ah, Muhammad… Muhammad..

Betapa kami mencintaimu. Betapa hidupmu bertaburan emas permata kemuliaan, sehingga luapan cinta kami tak bisa dibendung oleh apapun. Dan jika seandainya cinta kami ini sungguh-sungguh, betapa tak bisa dibandingkan, karena hanya satu tingkat belaka di bawah mesranya cinta kita bersama Allah.

pembenahan

Akan tetapi, tampaknya cinta kami tidaklah sebesar itu kepadamu. Cinta kami tidaklah seindah yang bias kami ungkapkan dengan kata, kalimat, rebana, dan kasidah-kasidah. Dalam sehari-hari kehidupan kami, kami lebih tertarik kepada hal-hal lain. Kami tentu sering merayakan peringatan kelahiranmu di kampong masing-masing, tetapi pada saat itu wajah kami tidaklah seceria seperti tatkala kami dating ke toko-toko serba ada, ke bioskop, ke pasar malam, ke tempat-tempat rekreasi.

Kami mengirim sholawat kepadamu seperti yang dianjurkan oleh Allah swt karena Dia sendiri beserta para malikat-Nya juga memberikan sholawat kepadamu. Namun, pada umumnya itu hanya karena kami membutuhkan keselamatan diri kami sendiri. Seperti juga kalau kami bersembahyang sujud kepada Allah swt, kebanyakan dari kami melakukannya karena wajib, tidak karena kebutuhan kerinduan, atau cinta yang meluap-luap. Kalau kami berdoa, doa kami fokus pada kepentingan pribadi kami masing-masing. Sesungguhnya kami belum mencapai mutu kepribadian yang mencukupi untuk di sebut sebagai umatmu apalagi sahabatmu.

============

Cahaya yang kau lewatkan

  Andai saja aku biarkan mata ini terjaga agar bisa menyambutmu kedatanganmu, apakah hal tersebut akan menjadi suatu kebahagiaan untukmu? Te...