![naluri Transmormasi diri](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg_H0bO0ORZyN9USLGCHPn9j5cxe5sjgWNrDyt3QPjc1iKVO4MSksULvjjlk4WMnf_cqmkv60R7gIKNOgfbdiJ0Lzlbz049B1vk713nxVSR0DhO4vOTpsWtWeaVwrihlSTv_o0gdmAdI-8/w400-h400/19ac2bbe-181e-4749-9dfa-6f8515fd1b7f.jpg)
Senin, 27 Juli 2020
Kini Kamu Hanya Orang Asing Yang Pernah Datang Disatu Ingatan
![naluri Transmormasi diri](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg_H0bO0ORZyN9USLGCHPn9j5cxe5sjgWNrDyt3QPjc1iKVO4MSksULvjjlk4WMnf_cqmkv60R7gIKNOgfbdiJ0Lzlbz049B1vk713nxVSR0DhO4vOTpsWtWeaVwrihlSTv_o0gdmAdI-8/w400-h400/19ac2bbe-181e-4749-9dfa-6f8515fd1b7f.jpg)
Minggu, 26 Juli 2020
~Sapardi Djoko Damono, “Aku Ingin”
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu.
“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada”
~Sapardi Djoko Damono, “Aku Ingin”
Sebagian dari kita mungkin sudah tidak asing lagi dengan sajak di atas. Acapkali sajak tersebut dijadikan sebuah pembukaan di undangan pernikahan, status di media sosial, dan atau di sebuah kado. Sajak tersebut merupakan salah satu tulisan Sapardi Djoko Damono.
Selain sajak di atas, Sapardi juga telah melahirkan karya-karya lain yang tidak kalah luar biasa. Seperti puisi berjudul Hujan Bulan Juni, Pada Suatu Nanti, Yang Fana Adalah Waktu, Sajak Kecil Tentang Cinta, Hatiku Selembar Daun, Menjenguk Wajah di Kolam, Kenangan, Sementara Kita Saling Berbisik, Sajak Tafsir, dan lain-lain.
Sapardi Djoko Damono atau yang lebih dikenal dengan SDD lahir di Solo pada 20 Maret 1943 dari pasangan Sapariah dan Sadyoko. Tercatat, SDD pernah menimba ilmu di Fakultas Sastra Inggris di Universitas Gadjah Mada (UGM), dan menyelesaikan doktoralnya di Universitas Indonesia (UI).
Berdasarkan laman resmi Kemendikbud, SDD diketahui pernah menjadi dosen tetap di berbagai universitas. Seperti diantaranya IKIP Malang Cabang Madiun (1964-1968), Fakultas Sastra-Budaya di Universitas Diponegoro (1968-1973), dan Dosen tetap di Universitas Indonesia (1974-2005).
Sastrawan Sederhana
Pilihan kata yang sederhana dan mampu memunculkan imajinasi yang luar biasa. Dalam, luas, dan tak lekang oleh waktu. Banyak makna hidup yang SDD siratkan dalam suratan kata-katanya. Itulah gambaran dari setiap sajak yang berhasil dikarang oleh Sapardi heran jika banyak seniman yang memusikalisasi puisi-puisi sang maestro.
Bagi yang menyukai karya-karyanya Pak Sapardi Djoko Damono (SDD), tentu tidak asing dengan hal-hal sederhana dalam setiap karyanya.
Seperti dalam sajak berjudul “Aku Ingin”. Dalam sajak ini, Sapardi tidak memunculkan kata-kata yang melankolis, apalagi menggunakan istilah-istilah roman picisan. Namun, Sapardi lebih memilih diksi yang sangat sederhana. Api, abu, dan angin.
Itulah, betapa sederhanya sajak Aku Ingin”. Namun siapa yang dapat menyangkal, jika didalam sajak yang sederhana tersebut menyimpan makna yang mendalam.
Dalam sebuah talkshow di Mata Najwa, oleh Joko Pinurbo atau yang biasa disapa Jokpin, sajak “Aku Ingin” dianggap sebagai sebuah ungkapan kasih tak sampai. Jokpin juga menyebutkan bahwa puncak dari sebuah hubungan antara laki-laki dan perempuan adalam sebuah kesederhanaan dalam sebuah ikatan. Namun, untuk mengejawantahkan sebuah hubungan yang sederhana inilah yang justru tidak sederhana.
Selain sajak berjudul “Aku Ingin”, sajak berjudul “Hujan Bulan Juni” juga tidak kalah familiar. Bahkan sajak ini juga dijadikan sebagai sebuah judul buku kumpulan dari puisi-puisi SDD. Buku ini juga diangkat kedalam sebuah film dengan judul yang sama, dengan Velove dan Adipati Dolken sebagai pemeran utama di dalamnya.
Dalam novel tersebut, SDD menciptakan sebuah misteri dan tanda tanya di setiap babnya ini. Sungguh bisa membuka cakrawala bagi pembacanya. Selain itu, pembaca juga sedikit banyak akan terinspirasi oleh ciri khas penulisan novel penyair besar milik Indonesia ini.
Jika puisi-puisi Pak SDD telah dikenal luas, bahkan dikutip di mana-mana, maka prosa dalam buku Hujan Bulan Juni bisa membuat pembaca muda mengenal lebih dalam dunia kreativitas Pak SDD.
Saya sendiri memang baru menyelesaikan membaca novel itu beberapa waktu lalu. Dan saya sendiri pun tidak menyangka bahwa saya mendapatkan begitu banyak hal pasca novel itu saya baca habis.
Beberapa hal yang saya dapat, misalnya, kebudayaan dari berbagai tempat seperti Solo, Menado, dan Jepang. Kemudian tentang bagaimana cara berpikir orang-orang Jawa (Solo) yang berbeda dari pada cara berpikir orang-orang Menado.
Dengan memahami itu, kita juga bisa memahami bahwa kebudayaan setiap entitas suku bangsa juga sudah pasti berbeda, kan?
Lalu cara Pak SDD meramu kelucuan sepasang insan yang (diduga) saling jatuh cinta. Kalimat-kalimat dan dialog-dialog antara tokoh lelaki bernama Sarwono dan tokoh perempuan bernama Pingkan, mampu membuat pembaca merasakan kedekatan antara tokoh-tokoh itu dengan diri pembaca sendiri.
Misalnya bagaimana ketika mereka saling ledek padahal mereka sedang saling merayu. Dan itu mengingatkan kita pada kondisi seperti saat cinta lokasi atau terbelit rasa pada salah satu teman kita.
Selain dua hal di atas, masih banyak hal-hal menarik dan unik lain di dalam novel ini. Kejutan-kejutan pun akan bisa dirasakan pembaca menjelang akhir cerita.
Ada satu pertanyaan yang masih membuat saya penasaran pada kisah novel ini. Yaitu mencari titik temu antara puisi Hujan Bulan Juni dan gagasan besar dalam novel itu. Barangkali perlu perenungan ekstra atau saya sendiri yang kurang jenius untuk memaknainya.
Terlepas dari itu semua, ini bukanlah resensi buat novel tersebut, hanya sepatah komentar yang ingin dibagikan kepada teman-teman sekalian. Kini sastrawan besar Indonesia ini telah tiada.
Kendati demikian, semoga karya-karya Eyang Sapardi akan mampu menelurkan Sapardi-Sapardi baru yang mampu mengharumkan nama Indonesia. Selamat jalan, Eyang. Trimakasih atas semua karyamu yang luar biasa. Wallahu A’lamu bi al-Shawab.
Jumat, 24 Juli 2020
KERINDUAN DAN KEBIJAKSANAAN
![]() |
Belajar dari Hujan |
"Kerinduan dan Kebijaksanaan Bisa Datang dari Sikap Kita
Seperti Memaknai Arti dari Derasnya Hujan yang Tercurah dan Mengalir Membasahi
Bumi.... Sehingga Seberapa Sering pun Hujan Turun dengan Ciri Khasnya, Ia Pasti
Kembali Lagi untuk Menghidupkan Bumi Kita yang Kering."
"Hujan Sebenarnya Telah Mengajarkan Kita Tentang Arti
Sebuah Keikhlasan.... dan Hujan juga Mengajarkan Kita Tentang Makna dari Suatu
Bentuk Perjuangan."
"Sungguh Orang - orang yang Berjuang Dengan Ikhlas,
Takkan Pernah Berhenti Meski Terjatuh Berkali - kali, Layaknya Air Hujan yang
Senantiasa Kembali dan Membumi."
"Merasa Kecil Karena Kebesaran Alam Bisa
Membuat Seseorang Peduli Dengan Orang Lain.... Alias Dermawan. Bahkan Perasaan
Seperti ini Mendorong Seseorang untuk Terpanggil & Membantu Menyejahterakan
Kehidupan Orang Lain.
Jadi Jangan Terbawa Perasaan Jika di Antara Kita
Sering Merasa Bagaikan *SEBUTIRAN DEBU*.
Hasilnya Menyebutkan Bahwa Seseorang yang Merasa
Kecil & Menganggap Dirinya Bagaikan *SEBUTIRAN DEBU* Karena Dalam Dirinya
Mengakui Kemegahan Alam dari Sang Kuasa... Ternyata Orang Tersebut Bisa Lebih
Dermawan, Bahkan Orang itu Ternyata Lebih Peka juga Tergerak Hati untuk
Membantu & Menolong Orang Lain, Bahkan Mahluk Lain di Muka Bumi ini."
Rabu, 22 Juli 2020
WAKTU ITU, AKU LENGAH
Matahari pertama di awal bulan Juni ini akan menjadi penanda bagiku, lebih tepat kusebut sebagai pelajaran atas waktu yang tak pernah menunggu. Seolah umur memanjati pohon waktu itu, sampai ke setangkai dahan, tak pernah sampai pada puncak waktu itu. Sesungguhnya hanyalah misteri yang buram.
Juni adalah bulan
kelahiranku. Aku pernah bangga terlahir di bulan Juni, merasa memiliki
sifat-sifat seperti Sukarno, jiwa yang memimpin, berani berkorban demi bangsa,
populer dan dikagumi para wanita. Kebanggaan semu yang ternyata tak menjelaskan
apapun, bagaimana juga kekaguman itu tak membawaku kemana-mana.
Pada akhirnya
seiring waktu pula itu menjadi hal yang biasa. Hingga aku punya kesadaran untuk
menerima diri sendiri sebagai makhluk unik yang diciptakan Tuhan dengan segala
kelebihan dan kekurangannya.
Dapat kukatakan
sejak itulah aku berhenti mengidolakan orang lain secara membabi buta.
Kekagumanku pada seseorang tokoh atau publik figur seperlunya saja. Aku percaya
sebagai manusia merekapun tak akan pernah merasa sempurna. Selalu merasa
kekurangan dan tidak puas. Ada beberapa yang justru begitu takut menghadapi
masa depannya sendiri, sehingga tak risau jika harus berselisih dengan sejawat
sendiri.
Namun kupikir ini
hanya dampak perubahan usia saja yang membuat aku makin matang dan dewasa. Juni
adalah bulan yang indah. Sapardi bahkan menuliskan cerita tentang Hujan Bulan
Juni dan karyanya itu bukan sekedar kumpulan puisi tapi sudah pula bermetamorfosa
menjadi film. Mengagumkan sebagai pencapaian dari sebuah karya.
***
Aku lahir di
bulan Juni, dan ada kurasakan keharubiruan jika aku membaca sajak-sajak Sapardi
itu.
Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan Juni
Dihapusnya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
Diserap akar pohon bunga itu
Sapardi Djoko Damono dalam Hujan Bulan Juni kadang membuatku
bertanya, dari mana ide tentang hujan yang jatuh di bulan Juni itu?
Di atas semua itu ada kesadaran yang makin hadir dalam kehidupanku. Ya, umur yang terus bertambah, anak-anak semakin besar dan makin memerlukan perhatian. Mereka akan meneruskan sekolah kejenjang yang lebih tinggi secara bersamaan di tahun ini, di era new normal yang mulai disosialisasikan para penguasa republik.
Era baru di tahun 2020 telah dimulai dengan munculnya virus berbahaya bernama covid 19 yang mengenalkan cara-cara baru, konsekwensi-konsekwensi baru, ketakutan-ketakutan baru. Semua yang akan mungkin menjadi tatanan dunia baru seperti teori konspirasi. Terkesan seperti hoax, mungkin tak seserius itu.
***
Aku setelahnya merenungi arti kelahiran ku ini, dan pada waktunya aku sampai pada pertanyaan didalam hatiku, berapa lagi sisa umurku? . Jika ada yang akan merahasiakan tahun kelahirannya dengan alasan tertentu, aku sebaliknya akan berterus terang soal itu. Tak ada keberatan diriku akan pengetahuan orang lain tentang ini. Biasanya mereka akan berkata; kau awet muda.
Aku akan tertawa kecil, merasakan kejujuran dalam ucapan itu, sebab aku merasakan banyak teman kecilku yang kulihat lebih tua dari umurnya. Sebagai anak lelaki tunggal dalam keluarga tak ada keistimewaan soal ini, selain yang kuingat ibu akan merebus banyak telur dan membagikannya dengan rekan-rekanku, tanpa perayaan, tanpa ucapan yang khusus. Lebih tepat kukatakan keluarga kami tak terbiasa.
Ibu kehilangan dua bayi laki-laki sebelum melahirkan aku. Aku tak mengetahui sebabnya karena ibu pun tak pernah ingin bercerita tentang ini. Kami lalu pindah rumah meninggalkan dua kuburan bayi itu dirumah lama yang dekat dengan pasar di kota kecamatan, kesebuah tempat yang lebih sepi dan di sanalah aku lahir.
***
Entah mengapa setiap menjelang Juni aku akan melihat penjual kaos online menjajakan kaos bertuliskan Lelaki Terbaik Lahir di Bulan Juni. Tapi aku tak pernah membeli, itu bagiku tak lebih strategi dagang selain itu bahannya buruk.Bukan karena Juni merupakan waktu kelahiran pria terbaik seperti bacaan pada kaos itu, tapi bertaburan tanggal penting pada bulan Juni, ini yang lebih mengesankan buatku.
Pada bulan Juni aku akan mengenangkan hari pernikahanku pada tanggal paling ujung dibulan itu. Dan apakah ini suatu kebetulan saja, putri pertama kami lahir setahun kemudian tepat ditanggal tersebut.
Aku mengingat pernikahan kami dengan sederhana,ayah begitu senang ketika itu. Setelah pernikahan kami ia merebahkan diri dengan senyum puas di tilam dan berkata,ia tak akan keberatan jika Tuhan mencabutnyawanya.Ia meninggal satu tahun setengah setelah pernikahan kami.
Hari-hari yang kuhadapi semakin keras. Pada waktu-waktu tertentu aku mesti mempertaruhkan keberanian untuk mendapatkan sesuatu. Saat itu aku hanya percaya pada persahabatan, dan mulai membangun aliansi dan jejaring, mencari momentum yang tepat untuk melompat lebih tinggi.
***
Menyentak kan ingatan ke masa muda yang jauh.Hidup memang terasa sulit bahkan sekedar tuk dimengerti.
Tapi keyakinan bukanlah sebuah keyakinan jika tak dijalani.
Apa yang kita bicarakan semalam adalah refleksi kemelut batinku beberapa hari ini.
Aku yakin bersamamu bisa mengatasi badai kehidupan dan berjuang mengalahkannya.
Aku yakin dengan kasihsayang kita dapat bersama untuk tegar mengatasi rintangan.
Masalahnya bagiku saat ini, seberapa jauh aku bisa menanamkan keyakinan yang sama di hatimu.
Sementara saat ini aku bukanlah apa-apa, sebuah hal yang harus kuakui dengan kejujuran terdalam.
Kelebihan yang kumiliki hanya aku tidak terlahir untuk menjadi orang lain.
Aku ingin menjadi srigala yang mengaum keras ditengah gerombolan srigala lainnya.
Aku ingin menjadi pohon kukuh yang tersisa setelah lewat hempasan badai.Aku ingin menjadi pelaut tangguh yang menaklukkan ombak samudera.
Senin, 13 Juli 2020
KEGAGALAN MANUSIA MODERN DAN MANUSIA TRADISI
Apa yang diketahui oleh manusia tentang spiritualitas ? tentang
ruh, jiwa ( juga sukma, perasaan, roso, nafs, dan seterusnya),
serta hubungannya dengan dunia fisik ?
Manusia memiliki kesanggupan
terbatas untuk menggali sendiri pengetahuan tentang masalah itu, tetapi di luar
batas eksplorasinya itu, manusia juga membutuhkan informasi dari wahyu Allah. Karena
itulah agama diperlukan oleh manusia bukan sekedar sebagai “peraturan” tetapi
lebih penting lagi sebagai informasi ilmu, yang sesungguhnya merupakan landasan
mutlak bagi setiap dimensi hukum yang dikandung oleh agama.
Ekplorasi
ilmu tradisonal terhadap dunia spiritualitas cenderung terjebak pada takhayul,
klenik atau mitos. Sementara masyarakat modern kurang “berselera” untuk
memasuki wilayah spiritualitas, dan terjebak pada semacam ketidakpercayaan
terhadap spiritualitas. Dengan kata lain, orang tradisi “menyembah hantu”
sedangkan orang modern “menyembah batu”.
Oleh karena
itu, akan berkesimpulan pada titik ekstem yang tertentu, baik masyarakat
tradisi atau masyarakat modern terjebak pada kegagalan cukup serius dalam
usahanya merumuskan perjalanannya menuju penyatuan diri kembali ke hakikat
Tuhan, hakikat alam, dan dengan demikian juga hakikat kemanusiaannya sendiri.
Berangkat
dari filosofi manusia modern yang ingin menaklukan alam, sedangkan filosofi manusia
tradisi yang ingin menyatu dengan alam. Akan membuahkan konsekwensi manusia
modern mengatasi alam, menteknologikan alam menjadi budaya karena memang salah
satu ciri manusia modern yang berwatak dinamis, sementara manusia tradisi
berwatak pasif dan konservasif dalam arti manusia tradisi cenderung menerima
apa adanya dan kolot mempertahankan budaya yang sudah ada, mungkin itu karena
berfilosofi melebur alam. Lalu mana yang “benar” daintara keduannya ?
Memandang
filosofi yang berbeda diantara keduannya. Dinamika manusia modern dengan
teknologinya akhirnya terjebak dengan kekeringan ruhani karena perjalanan ke
depan mereka memakai perspektif waktu yang linier ( selalu bergerak lurus ), hampir
jadi, langkah ke depan mereka adalah langkah menjauh dari alam dan Tuhan. Perlu
dingat sebenarnya dalam islam memiliki konsep wa ilaihi turja’un :
kepergian hidup manusia ini kembali kepada Allah, artinya perjalanan ke depan
sekaligus kembali ke “belakang”. Konsep waktu dalam islam adalah siklis,
membulat, atau melingkar. Sedangkan secara
filsafat, perjalanan manusia modern dirumuskan dalam orientasi
eksisitensialisme - menyuruh dirinya sendiri menjawab keadaan yang menimpanya -,
dan itu artinya menjauh dari Allah, atau dengan bahasa islamnya ; anti
tauhid.
Sementara
pada masyarakat tradisi –yang sebenarnya memiliki konsep waktu siklis- metode
untuk “kembali ke Allah” itu ditempuh tidak dengan kata “maju ke depan” tetapi
dengan “berjalan di tempat” atau “balik ke belakang”. Jadi, baik manusia modern
maupun tradisi melakukan tarekat yang masing-masing memiliki kekurangan, bahkan
bisa dikatakan keliru. Manusia modern sukses mengkhilafahi alam, tetapi keliru
orientasinya sehingga tidak taqorrub kepada Allah. Sementara manusia
tradisi bertahan dekat dengan Allah, akan tetapi gagal melaksanakan
kekhalifahan yang dinamis.
Sebenarnya
ini adalah peta peradaban yang sangat luas sekali, tugas kita sebagai manusia seutuhnya
ialah fokuskan pada persoalan pariwisata kehidupan. Pariwisata kehidupan adalah
fenomena religius, yang mana dengan sebab itu manusia modern dapat memasuki
proses teknologi kebudayaan, yakni arah menjauh dari alam, kemudian menciptakan
peluang-peluang khusus untuk kembali ke alam, lalu kembali kepada Tuhan. Kerapkali
kegagalan ruhaniah ( spiritual ) kebudayaan modern itu sebab kegelisahan oleh “alam
bawah sadar” mereka sehingga kemudian di telurkanlah antara lain alternatif
budaya yang bernama pariwisata kehidupan.
Minggu, 12 Juli 2020
UNTUNG TUHANNYA TAK MAHA BINGUNG
"Tak jarang sesuatu yang engkau benci ternyata baik bagimu, begitu pula tak jarang suatu yang engkau anggap baik ternyata buruk bagimu. karena Allah mengetahui mana yang terbaik untukmu, sedangkan engkau tak tahu"
![despresi berat Despresi](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiPSLlBujhQHZFkZo5Sgcjf97w0eXSlRAQ1JKu1h1vSR0uHN_gT6yVjWogtfcSZdAUxMgKTH8mIwDC2UnNj6hpL9LDJaJkDKuzqDt_lfQkmGQk1QqXVhOEDPeeujeF3bfubw84Wxd50gFM/w313-h208/96520443_1571738212975044_2801235639624794112_n.jpg)
Ketika gunung-gunung,
samudra, dan semua makhluk yang ada di bumi mengajukan protes ke langit tentang
banyak perilaku biadab umat manusia yang terus saja merusak alam dan bahkan
merusak dirinya sendiri, dan kemudian gunung itu minta izin agar diperbolehkan meledakan
diri mengalirkan lahar panas dan batu-batu untuk menghancurkan kota-kota
manusia.
Allah SWT
menjawab bahwa tolol benar manusia bersedia dijadikan khalifah di bumi, padahal
gunung, jin, badai, dan lain-lainya menolak. Celakanya sang khilafah ini,
berbuat tidak tidak lebih baik dari bintang-bintang dan pepohonan yang
senantiasa bersujud kepada-Nya.
Manusia sungguh
memang aneh. Bagaimana mungkin ? mereka menuruti kemerdekaan sampai tingkat
mabuk, mengambil apa yang bukan haknya, dan tidak menyampaikan apa yang
seharusnya mereka salurkan.
Mentang-mentang
Allah SWT tidak pernah membuat mata mereka buta sebelah, rambut rontok, dan
tiba-tiba kaki lumpuh ketika bangun tidur pada pagi hari. Mentang-mentang Allah
setia menjaga nikmat-nikmat-Nya untuk berlaku pada manusia, meskipun hamba-Nya
ini tidak mematuhi-Nya, bahkan membohongi-Nya dari berbagai hal.
Memang Allah
amatlah mencintai hamba-hamba-Nya. Meskipun Dia tampak begitu bersusah payah
berusaha menyakinkan agar manusia mempercayai-Nya. Pada saat lain, Dia
seolah-olah murka karena Dia tak
dinomorsatukan, tapi malah di persatukan dengan benda-benda dan nila- nilai
yang remeh dan sepele, sehingga seandainya Dia adalah manusia, maka akan tumbuh
rasa cemburu dan rasa sakit yang mendalam.
Sebagimana
dalam firman-Nya tak jarang Dia seakan-akan bertanya: “Apa lagikah yang engkau
dustakan dari Nikmat-nikmat-Ku ?” “Utusan-Ku itu bukanlah seseorang pembohong,
kenapa engkau tak percaya ?” “Bukankah telah Aku lapangkan dadamu ? Bukankah
telah ku letakan engkau ditempat yang lebih berderajat ?....
Disamping Allah
tak habis-habisnya memberi, sementara manusia tak habis-habisnya menuntu. Allah
tak jera-jeranya mencintai, sementara manusia tak kapok-kapoknya membelakangi.
Sementara itu,
diantara sesama manusia saja pun diperlukan pengertian tentang kelayakan pada
setiap orang untuk memaafkan. Suatu keadaan yang relevan untuk dikutuk dan
keadaan lain yang pantas untuk dimaafkan.
Ditambah lawakan
penyair abu nawas : “Dosa-dosa hamba bagaikan timbunan pasir di sepanjang pantai.
Maka, siapa lagi yang pantas mengampuni hamba selai Engkau, ya Rabbi ?” “ Hamba
ini tak pantas menjadi penghuni surga, ya Allah, tetapi kalau harus masuk
neraka, ya……. Janganlah”. Manusia memang terkesan manja tatkala hal merintih meminta
doa, dan seakan-akan pintanya tak masuk akal membuat bingung saja, untung Tuhannya
tak maha bingung.
Surah Al-Fatihah
mengajarkan, Allah menuntut manusia untuk pertama-tama mengapresiasi dan
memuji-Nya, baru meminta tolong dan perlindungan. Dari situlah manusia baru
layak mohon ampun, minta pertolongan, dan perlindungan kepada siapa pun –apalagi
kepada Allah- apabila dia telah menunjukan apresiasi atau penghargaan kepada pihak
yang dimintai ampun dan pertolongan.
HATI YANG GIGIH
PENTINGNYA TAHU ISTILAH DALAM ILMU
"Ketika tidak tahu istilah dalam mengkaji ilmu atau yang lain, maka akan merubah makna topik yang dikehendaki".
Sabtu, 11 Juli 2020
MUHAMMAD SANG PEROMBAK PERADABAN
Teologi islam telah memandu kita bagaimana memilih assembling dari masa depan terbaik dan termulia. Filosofi islam membimbing kita untuk merancang jenis kemakhlukan macam apa kita akan menjadi kelak. Dan kosmologi islam memberi pilihan kepada kita akan merekayasa diri menjadi benda setingkat debu, menjadi energy yang gentayangan jadi hantu dan klenik, atau menjadi api dan kayu bakar penyiksa diri sendiri, atau Alhamdulillah kita lulus menempuh transformasi dari materi ke energi lalu ke cahaya.
Cahaya cikal-bakal yang pada abad ke-13 dimanifestasikan melalui sesorang laki-laki yang progresif menentang arus, menjajakan tauhid di tengah-tengah berhala, yang bersedia menggenggam pedang untuk mempertahankan diri dan menegakkan nilai, dan yang bersedia tidur beralaskan daun kurma. Yang kalau lapar, dia merasa pekewuh untuk meminta sehingga mengganjal perutnya dengan batu, dan yang punya bargaining power untuk berkuasa, tetapi memilih hidup melarat.
Ah, Muhammad… Muhammad..
Betapa kami mencintaimu. Betapa hidupmu bertaburan emas permata kemuliaan, sehingga luapan cinta kami tak bisa dibendung oleh apapun. Dan jika seandainya cinta kami ini sungguh-sungguh, betapa tak bisa dibandingkan, karena hanya satu tingkat belaka di bawah mesranya cinta kita bersama Allah.
Akan tetapi, tampaknya cinta kami tidaklah sebesar itu kepadamu. Cinta kami tidaklah seindah yang bias kami ungkapkan dengan kata, kalimat, rebana, dan kasidah-kasidah. Dalam sehari-hari kehidupan kami, kami lebih tertarik kepada hal-hal lain. Kami tentu sering merayakan peringatan kelahiranmu di kampong masing-masing, tetapi pada saat itu wajah kami tidaklah seceria seperti tatkala kami dating ke toko-toko serba ada, ke bioskop, ke pasar malam, ke tempat-tempat rekreasi.
Kami mengirim sholawat kepadamu seperti yang dianjurkan oleh Allah swt karena Dia sendiri beserta para malikat-Nya juga memberikan sholawat kepadamu. Namun, pada umumnya itu hanya karena kami membutuhkan keselamatan diri kami sendiri. Seperti juga kalau kami bersembahyang sujud kepada Allah swt, kebanyakan dari kami melakukannya karena wajib, tidak karena kebutuhan kerinduan, atau cinta yang meluap-luap. Kalau kami berdoa, doa kami fokus pada kepentingan pribadi kami masing-masing. Sesungguhnya kami belum mencapai mutu kepribadian yang mencukupi untuk di sebut sebagai umatmu apalagi sahabatmu.
Cahaya yang kau lewatkan
Andai saja aku biarkan mata ini terjaga agar bisa menyambutmu kedatanganmu, apakah hal tersebut akan menjadi suatu kebahagiaan untukmu? Te...
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh1CCHtrzIDX6ryofw4naNEbNyiZZrtntVF6nk1i20FKfJj6-yDyqtVZpZX2uI4LgBQkoGdZqP3rhOdwEeIoZynFWfljAjeygPoQIorxe0XigpJLrEg3dXWYQTjfEXekx4s1-sQvTEZhgQ/s320/LAMP.jpg)
-
Andai saja aku biarkan mata ini terjaga agar bisa menyambutmu kedatanganmu, apakah hal tersebut akan menjadi suatu kebahagiaan untukmu? Te...
-
Andai saja batu -batu yang terlempar itu sanggup menyuarakan haknya kepada manusia yang sesukanya sendiri melempar-lemparkan dirinya seb...
-
من لم يعرف الإصطلاح فقد تغير معني المراد "Ketika tidak tahu istilah dalam mengkaji ilmu atau yang lain, maka akan merubah makna topik ...