Senin, 28 September 2020

TANPA TATAP, SALING TITIP

 

Dalam perjalanan, banyak nampak perempuan-perempuan tangguh di segala rentang usia. Ada perempuan mungil yang murung di pangkuan ibunya. Ada perempuan dewasa berseragam selepas pulang sekolah yang tersenyum riang dengan sepeda yang dikayuhnya. Bahkan, sekilas kepergok seorang ibu sedang menatapku di tepian jalan. Yang mungkin sedang menanti seseorang menjemputnya selepas bekerja.

Yang murung, kelak akan mendapatkan kebahagiaannya meski suatu saat akan kembali murung. Yang tertawa bahagia, suatu saat akan mendapati sebuah pelajaran pedihnya kehilangan meski kebahagiaan akan ditemuinya kembali. Bahkan, yang sedang dirundung kesunyian dalam penantian, pasti akan dipertemukan dengan sesuatu atas ketulusan penantian yang telah dirasakan.

Sesekali, para ibu itu menangis di sudut dapur nan terdengar riuh meski sendiri. Bukan karena irisan bawang, namun karena keheningan yang dirasakannya. 

Para perempuan tangguh tersebut melakukan sesuatu yang bukan untuk dirinya. Dia rela beranjak keluar rumah sebelum fajar menyapa, dengan dingin yang dirasa mampu menembus qalbu. Demi keluarga, yang terlalu banyak menuntut ini dan itu hingga sering terlupa membalas perhatian asihnya.

Bagaimana bisa Bunda Maria itu mengandung tanpa sebuah pertemuan? Lantas bagaimana Bunda membesarkan anaknya? Dengan begitu banyak hujatan prasangka diarahkan kepada dirinya. 

Bagaimana ia mampu bertahan? Ataukah Tuhan benar-benar memberikan jaminan rasa aman lewat tangan malaikat-malaikat-Nya? Bagaimana Bunda memiliki Iman? Meski tak melakukan protes seperti apa yang dilakukan oleh Nabi Musa hingga gunung itupun seketika hancur

Tentu, standar nilai kehidupan yang baik bagi seseorang tidak bisa dipaksakan ke berbagai lapisan kehidupan, dengan latar belakang/basic yang juga berbeda satu dengan yang lainnya. 

Hal tersebut nantinya akan mempengaruhi respon ketika dihadapkan dengan sebuah gejolak yang sering dikira sebuah masalah, meski sebenarnya itulah yang memberi keindahan dalam hidup.

Terlepas dari kehebatan seorang wanita, kita semua dihadapkan dengan pilihan-pilihan yang datang silih berganti bagai ombak yang terus saja mendera bibr pantai. Memaksa mereka menampung sampah-sampah yang dibawa entah darimana. Dan menerimanya dalam senyap. Lihatlah bagaimana keegoisan dan keangkuhan di antara 2 sisi pilihan, perhatikan ketulusan dan keikhlasan tanpa menunjukkan alasan-alasan.

Tidakkah kita sedikit saja menengok dan lebih memberi perhatian kepada perempuan-perempuan itu, yang tersungkur letih mengurusi rumah, sepi tanpa ada teman mendengarkan segala keluh kesahnya, atau ingin menjerit sekeras-kerasnya di depan suami yang masih saja mengeluh tentang kenikmatan dan kepuasan hasrat bercinta di atas ranjang. Meski tak tahu mengapa standar itu justru berubah, apa ada perempuan lain. Ah, bangsat!

Atau sebaliknya, bagaimana para laki-laki itu berjuang demi keluarga tanpa kejelasan hasil. Yang bergerak dengan begitu banyak bekal pengharapan kepada Tuhan untuk diberikan sedikit saja cahaya hanya demi mengisi perut anak-anak dan istrinya. Belum, dengan ancaman Sang Istri yang akan pergi meninggalkannya jika perjuangan tak kunjung berpengaruh terhadap nasib kehidupan.

Nikmatilah hidupmu selagi engkau masih diberi waktu untuk menatap bahkan ditemani oleh cinta dan ketulusan meski tak sanggup ia mengungkapkannya. Nikmatilah segala perhatian yang diterima sebelum suatu saat kehilangannya, atau jika murka yang mesti didera. Nikmatilah setiap pertemuan meskipun itu hanya sedetik cumbu bahagia, sebelum kerinduan mengekang setelah perpisahan itu tiba.

Anggap saja keberadaan tak sepenuhnya mampu memahami. Mungkin saja ia atau anggap saja aku yang buta, terjebak dalam kesempitan, terhimpit oleh kecilnya cakrawala. Atau terlalu rakus hingga tak sadar diri telah terlalu egois. Sehingga tak mampu menatap dan mengerti segala candamu sekalipun dalam kesunyian, Kasih!

***

MENEMBUS KATA

 


Seruang namun terasa sulit untuk menemukan cara untuk bisa saling berbagi kata-kata. Bahkan tatap pun terasa semakin punah tersiksa oleh pandemi keraguan akan rasa yang tumbuh tidak sebagaimana umumnya. 

Hingga tersisa jejak-jejak wangimu  memaksa diri untuk segera dirawat sebagaimana mestinya. Biarlah angan merundung lesu, asal rasa yang kian tumbuh subur tak semakin menyesakkan hati yang enggan mengungkapkan kata-kata.

Kata-kata hanyalah bayangan akan kenyataan. Sebuah citra telah saling kita pancarkan hingga mampu menarik hati satu dengan yang lainnya tanpa harus mengumbar banyak kata. 

Tanpa pernah menanyakan, "apa kabarmu" atau "sedang apa dirimu?", dan kau sendiri yang akan datang kepadaku. Bisakah kau merasakan, betapa mempesonanya kenyataan yang nampak tanpa bayangan kata-kata tersebut?

Dan kenyataan itu menyapa bukan karena sebuah hasrat diri, melainkan atas simpati yang selalu kau tawarkan. Lewat senyuman-senyuman yang selalu kau bagi untuk menghibur kesunyian yang kau lihat atas diri ini. Tidakkah sesekali kita memikirkan bagaimana sesuatu ini kian mewangi?

Ketika awal dari  sebatas citra sebuah angan, akhirnya menjadi kenyataan. Bukankah itu cukup? Tanpa harus disepakati dengan bayang kata yang akan menambah toxic tendensi-tendensi yang merumitkan.

Kasih, pada akhirnya akan datang pula, "Hari ketika segala pikiran dan perbuatan yang tersembunyi akan diuji." (86:9) Jika itu kebaikan, maka musuh kita adalah waktu. 

Jika masih juga hal itu membuatmu ragu, maka berendah hati, takutlah, dan jangan gantungkan harapan itu kepada siapapun kecuali Dia. Andaikan itu banyak menimbulkan ketidakbaikan dalam pikiranmu, berarti sedang mengajarkan keikhlasan.

Dalam ruang itu, jarak bukan lagi menjadi sekat yang menjadi pembatas di antara kita. Telinga ini masih bisa mendengar suaramu. Mata pun sanggup untuk membaca segala gerak-gerik keindahanmu. 

Indera ini tak hanya mencumbu jejak wangimu, namun, bukan menjadi sebuah kemustahilan bagi jari-jemari jika ingin merasakan kelembutan tubuhmu. Tapi, itu tak lebih dari sekedar bumbu-bumbu layaknya bayangan kata yang tergambar oleh sebuah angan.

Maka, sebisa mungkin raga ini harus pergi. Meski pergi tanpa arah tujuan dalam gelap dan dinginnya Sang Malam. Demi ikatan yang abadi, pikiran dan perbuatan sudah semestinya mendapatkan ujiannya. Manusia-manusia seringkali terjebak di banyaknya wajah-wajah masalah yang datang. 

Sedangkan, dari sekian banyak jumlah tersebut, bisakah kita menemukan satu dasar, akal, atau sumber dari semua itu? Bukankah pada akhirnya kita hanya sibuk berselisih dan banyak menyia-nyiakan waktu?

Tapi, itulah jalan yang mesti dilalui jikalau ingin mencapai penyatuan. Naluri manusia selalu mengajak untuk mendapatkan keamanan dan kenyamanan. 

Lalu, bagaimana mereka akan beranjak dewasa pemikirannya? Bagaimana akan memperluas cakrawala pandangnya? Bagaimana akan menemukan kedalaman batinnya? Jika mereka enggan diperkenalkan dengan perselisihan-perselisihan yang satu diantaranya akan menghujam kuat menembus hati yang terdalam.

Disana akan ada batas yang memperkenalkan berbagai macam bayang-bayang kata yang mewujud menjadi prasangka. Ketika disana engkau bertemu sunyi yang menyekap dirimu, disaat sangka mengikat gerakmu dan mengatakan bahwa engkau sendirian. 

Di saat itu pula, perlu engkau ketahui bahwa engkau hanya butuh sedikit menolehkan pandanganmu kebelakang. Karena akan selalu ada kesetiaan yang mengikutimu.

Aku akan bersembunyi dalam bayang kata-kata. Aku hanya kenyataan yang ditiadakan oleh bayang-bayang yang tercipta. Namun, aku tidak ingin engkau mengenalku. 

Sekalipun berulang kali kau tak hiraukan ketulusan yang menyapa, hal itu bukan menjadi alasan buatku untuk berhenti melangkah. Karena bukan aku yang menumbuhkan rasa, bukan aku yang menciptakan asih, bukan aku yang mengendalikan segala permainan ini. Dan aku setia kepada-Nya, bukan kepadamu.

Dunia ini hanyalah buih, sedang pengetahuan itu layaknya lautan. Dan cinta sejati itu layaknya mutiara yang jauh tersembunyi di dalamnya. Ketika kamu puas dengan secangkir air lautan, bagaimana kamu akan menemukannya?

Kita sudah banyak dipertemukan dalam kenyataan, menembus segala bayangan kata yang menyembunyikan segala realitas. Kita sudah saling tarik-menarik dalam beribu bisu. Kita saling membahagiakan dalam setiap kehadiran. Apakah itu sudah cukup menjadikan kita satu dalam keabadian?

***

mencari rumusan ulang

 


Malam akan menguakkan kemunafikan orang-orang atas ketidakberdayaannya atas pertunjukan laku yang biasa dilakukan pada siang hari. Hingga mereka menciptakan ruang yang tak terbatas oleh siang dan malam yang menghambat pertunjukannya. Orang-orang masih saja berebut untuk mencari perhatian dan pengakuan atas dirinya.

Hal itu tidak berlaku bagimu. Engkau selalu sibuk di setiap waktu. Hingga tatap ataupun canda itu sangat jarang sekali terlihat baik di siang ataupun malam. Hal yang membahagiakan dan memberi tenaga setiap kali melihatmu, meski dicari ulang rumusannya agar aku tak kehilangan cara untuk selalu tetap mencarimu.

Tidak pernah berhenti ini bukan berarti terlalu obsesif. Kata-kata yang tercipta pun bukan pula untuk mengejar sebuah pengakuan. Atau seluruh isyarat yang diketahui agar menarik perhatianmu terhadapku. Karena ketika aku berjalan, berlari, atau bersembunyi dibelakangmu, ketahuilah bahwa sekali-kali hal tersebut dilakukan karena hasratku ingin menjadikanmu sebuah sandaran jiwa.

Rasa kenyang atas kemunafikan, ketidakselarasan antara laku dan kata, bahkan menyepelekan waktu demi waktu yang berangsung berulang-ulang. DImana semua itu hanya akan terjadi apabila kita telah menyandarkan diri pada manusia. Itu adalah hal yang umum terjadi. Tidak semua akan bertahan lama jika sandaran itu dtempatkan kepada manusia.

Kami adalah milik Tuhan, dan kepada-Nya kami pasti akan kembali (2:156). Ayat tersebut selaras dengan sabda "jangan sandarkan diri kepada manusia". Kita terlalui banyak berharap kepada manusia. Kita terlalu banyak menuntut balasan kepada manusia atas apa yang telah kita lakukan. Kita terlalu banyak menagih hutang atas apa-apa yang sebenarnya sejatinya bukanlah milik kita.

Dan apabila hal itu bermekaran menjadi sebuah rasa cinta atau rindu kepada seseorang. Aku hanya ingin engkau membaca bahwa kedatanganku bukan menjadi awal harapanmu atas sesuatu yang ingin kau petik dan miliki keindahan tersebut. Sebuah kedatangan dalam sebuah pertemuan tak lebih dari seutas tali asih dari Sang Maha Pencinta yang inginmengajarkan tentang ketulusan, kesetiaan, bahkan keabadian.

Karena dari segala hal di dunia ini, tidak ada yang bisa dijadikan bekal untuk mengarungi perjalanan di dimensi alam yang berbeda. Tidak ada yang bisa dijadikan sandaran yang dapat menembus batas dimensi keduanya, kecuali Sang Haqq dan kekasih-Nya.

Namun, yang ada kita hanyut dalam derasnya arus cinta terhadap diri sendiri. Sedang diri ini sama sekali tidak benar-benar mengenal diri sendiri. Lalu, bagaimana bisa kita memberikan cinta kalau bukan untuk memuaskan hasrat diri? Tentu saja tidak ada benar dan salah karena setiap perjalanan memiliki tikungan dan pemandangan yang berbeda-beda. Kendaraan yang digunakan pun tak bisa disamakan satu dengan yang lainnya, karena Ia telah memberikan ukuran-ukuran tertentu sesuai dengan kapasitasnya.

Tidak ada yang bisa mengambil jalan atau memutus asa. Karena jalan yang tercipta atau asa yang menyeruak sama sekali bukan merupakan suatu kehendak diri. Aku tidak akan berlari karena kita selalu dipertemukan hampir setiap hari, dengan atau tanpa sebuah pencitraan.

Aku mencari tidak untuk memiliki. Aku pergi bukan untuk menemukan. Aku tinggal bukan untuk berkuasa. Aku belajar bukan untuk menjadi baik. Aku bicara bukan untuk didengar. Bahkan, aku menulis kata pun bukan untuk dibaca.

Semua itu merupakan wujud akan sandaranku terhadap ketiadaan. Kesunyian. kehampaan. Yang menampung segala keberadaan. Termasuk terhadap dirimu, kasih. Teruslah menghadap ke depan, jangan kau berpaling terhadap sayu-sayu kepalsuan.

 ***

Minggu, 27 September 2020

Arah perubahan, semau-maunya, atau sungguh sungguh ?

 


Semangat perubahan itu sudah tidak terlihat lagi, akan tetapi waktu yang terus berjalan memaksa kita untuk terus bergerak. Sedangkan segala gerakan-gerakan itu tetap mendorong terjadinya perubahan, sekalipun perubahan yang terjadi pun pada akhirnya hanya akan rando karena tidak adanya identifikasi laju dari tiap-tiap individu.

Mungkin ada seseorang yang akan melakukan identifikasi pemetaan untuk sampel data yang bisa di evaluasi bersama, sehingga bisa meminimalisir perubahan-perubahan yang efeknya mungkin lebih banyak menjurus ke hal-hal yang mudharat daripada yang afdhol.

Namun, kendala orang-orang di zaman sekarang dengan bekal ilmu yang segudang, baik secara sains maupun spiritual, mayoritas tidak mampu menghasilkan kerendahan hati untuk diajak saling support atau setidaknya menghargai dan mengapresiasi apa yang telah orang lain kerjakan.

Seakan-akan mereka memuji, tapi hal tersebut tak lebih dari latihan sandiwara yang selama ini diam-diam banyak dipelajari. Semua juga mengalami peningkatan dalam bidang acting, atau memanipulasi moral untuk menjaga image diri. Banyak orang yang tertipu untuk mengenali identitas, mulai seorang profesor, OB, mekanik, buruh, hingga yang dianggap ulama.

Mereka tidak ada kemandirian, kecuali atas ego benarnya sendiri. Itu dikarenakan karena dirinya merasa telah mengenyam banyak ilmu. padahal, output dari ilmu itu sendiri hakikinya bukan kekuasaan, pangkat, ataupun harta yang dapat dihasilkan, melainkan adalah akhlak. 

Semakin tinggi ilmu seseorang, semakin baik akhlaknya seperti yang selama ini banyak kita temukan dalam peribahasa "jadilah seperti padi, semakin berisi semakin merunduk".

Tapi karena ketidaktepatan nilai yang dipegang setelah mendapatkan banyak ilmu. Perubahan pun difokuskan pada hal-hal yang poin utamanya bukan akhlak, melainkan kesombongan, kerakusan, dan kompetisi kebenaran. Kira-kira 
tepatkah jika arah perubahan menuju kehancuran? Sekalipun mereka memiliki dalih untuk selalu melakukan perbaikan?

"Dholim, dholim, dholim..." kata seseorang. "hal utama yang dipelajari manusia semakin bertambahnya usia adalah membuat kemasan narasi yang indah atau katakanlah alasan, untuk menutupi kerakusan dirinya. Dalam hal dan profesi apapun itu." lanjutnya.

Kita hidup bebrayan, tapi kenapa sangat sulit sekali diajak puasa bersama, menyedekahkan diri untuk melakukan sesuatu yang baik. Sekalipun itu dalam payung satu keilmuan yang sama, hal itu bukan hal yang mudah dilakukan. 

Bukan karena kompleksnya masalah yang ada di luar lingkungan itu, atau terlalu ruwetnya masalah. Bukan karena mental yang masih sering dikata tempe, atau bukan karena kurangnya informasi akan berbagai macam bidang keilmuan. Hal yang menghambat antara lain faktor utamanya adalah diri sendiri.

Mungkin kita bisa membohongi orang banyak, akan tetapi kita tidak bisa membohongi diri sendiri. Kita mengetahui kebenaran, tapi berlagak seolah-olah lupa akan kebenaran. 

Kita selalu mencoba untuk membuat orang tidak resah dan cemas, namun kita kurang memacu diri dan memilih bermalas-malasan. Banyak sekali kata-kata yang terucap namun tidak menghasilkan korelasi perbuatan yang sama.

Aku yang menulis seperti ini pun sebenarnya telah menyombongkan diri karena tidak memiliki dasar ilmiah tentang apa yang tertuliskan. Tidak pandai menuliskan catatan-catatan kaki atau mungkin karena terlalu malas membuatnya. 

Kita dikepung oleh sanad-sanad keilmuan yang memberikan batas atas kemandirian, inisiasi, dan kreasi kita. Kita seperti gembala yang dituntut agar tidak ceroboh, meski sebenarnya hanya agar mudah diatur. Jadi, semua ini salah, tidak valid, dan tidak berdasar apapun.

 Jadi anggap saja, semua itu hanya omong kosong. Toh, jika orang berilmu dan pintar bersandiwara, sekaligus memiliki koalisi yang kuat hanya nampak seolah-olah melakukan perbaikan. 

Akhirnya kentara dengan sendirinya, baik atau buruk, tergantung Dia yang masih selalu saja tidak memperlihatkan aib-aib kedholiman para hambaNya, karena terlalu Maha Mencintanya.

Biar hal-hal seperti itu menjadi pelajaran dan tonggak estafet perjuangan dari generasi ke generasi. Dari dulu sampai sekarang juga akar permasalahannya tak jauh-jauh dari masalah moral dan akhlak yang selalu menjadi poin utama dalam output pembelajaran agama/spiritual.

Tentu saja, jangan muluk-muluk dengan perubahan andai belum memiliki kesiapan akan datangnya sebuah ujian. Jangan muluk-muluk menyatakan perang terhadap sesuatu kalau mengidentifikasi musuh pun masih tidak sanggup.

Betul jika semuanya memiliki latar belakang dan profesi yang berbeda-beda. Dengan banyaknya proses intelektualisasi dalam berbagai macam ilmu berhari-hari. Dengan hasil aktualisasi takwa yang tentu tidak bisa disamaratakan.

Kita mungkin sering mendengar "ittaqullah haqqo tuqotihi" (3:102), kita diminta untuk bersungguh-sungguh dalam bertakwa. Begitupun dengan "fattaqullaha famastatho'tum" (64:16), bertakwa dengan semampu-mampunya. Maksudnya bukan bertentangan, melainkan untuk menciptakan ruang untuk memfaslitasi kapasitas tiap individu yang berbeda-beda.

Dengan tujuan utama perubahan untuk bersama-sama mencapai kaaffah. Namun, sudahkah kita bersungguh-sungguh menjalani peran? Atau jangan-jangan belum mengetahui peran otentisitas diri sendiri? 

Jadi jangan salahkan perubahan jika tidak berjalan sebagaimana mestinya, tanyakan kepada diri sendiri dahulu, "sudikah memaksimalkan peran dalam sebuah sistem perubahan secara maksimal dan bersungguh-sungguh, tanpa tendensi apapun?"


Semangat yang terkikis bahkan sampai hilang dan hanya muncul di permukaan awal-awal. Terjadi karena niat keberangkatan yang mungkin masih banyak tendensi. Hingga seiring berjalannya waktu tidak menemukan capaian atas tendensi tersebut. 

Lalu apa bedanya dengan melakukan bisnis yang mengalami kerugian materi? Hanya saja kali ini merugi fisik, tenaga, dan waktu. Mengapa kita masih memperdagangkan hal-hal seperti itu?

Kesungguhan itu akan menghasilkan kesetiaan. Jika pada akhirnya kesetiaan tidak terlihat, perlu dipertanyakan kesungguhan itu terutama kepada diri kita masing-masing. Di dalam titik pertemuan ruang dan waktu yang biasa dijalani selama ini. Jangan-jangan kau hanya mencari pengakuan?

Kita bertanggung jawab atas perubahan yang akan dialami beberapa waktu yang akan datang. Biarkan saja mengalir atau berjuang semampunya dengan memaksimalkan peran diri? Tapi buat apa engkau berusaha, toh semua 'katanya' juga baik-baik saja dan tidak ada masalah apapun dalam laju perubahan.

baiklah !!!

meng-asing ingin tak kenal




Perjalanan ini telah melebihi setengah jalan. Segala tapak jalan selalu meninggalkan jejak. Segala rentang waktu selalu memberi kenangan. Dan segala pertemuan denganmu akan selalu meninggalkan kesan. Meski, semua itu hanya angan ataupun bayangan yang bermanifestasi hingga menambah kerinduan.

Aku pun tidak terkejut apabila yang mewujud selama ini hanyalah sebatas pantulan cahaya yang membentuk rupa di permukaan cermin. Sedang yang nampak dan telah bertemu, bukanlah wujud sejatimu. Aku lantas terus mencari dan meniti tiap rasa yang tumbuh. Hingga hanya diam yang selalu menghiasi segala pertemuan.

Meski terlihat diam, kata-kata itu terangkai merajut makna. Menyatakan asih yang kukembalikan karena semua kata-kata itu pun berasal darimu. Sekalipun engkau datang membawa kesan keterasingan, hal itu tak lantas membuatku terhenti untuk memperhatikan setiap getaran langkahmu. Untuk mendengarkan sayu-sayu suaramu.

Semakin diam itu terpelihara, semua semakin menjadi asing bagi tatap-tatap yang saling sapa secara langsung. Uniknya, keterasingan itu tak lantas mengikis rasa yang telah tumbuh. Apa ini yang bisa membawaku ke keabadian? Dengan memelihara, memupuk, dan menyiraminya. Tanpa tau buah dari rasa itu akan dinikmati oleh siapa.

Banyak aku lihat di permukaan cermin itu sesuatu yang buruk, namun aku tak lekas memalingkan pandanganku untuk mencari sesuatu lain yang indah. Aku akan tetap memandang keburukan itu yang juga merupakan bagian darimu. Atau bahkan sekalipun engkau sengaja memberikan pemandangan buruk itu, tak lekas membuatku berpaling.

Di saat yang lain banyak yang mencari kenyamanan, aku mencari ketidaknyamanan. Di saat yang lain mencoba menemukan keindahan, aku duduk bersila mengenyam sesuatu yang tidak enak dipandang. Di saat semua sibuk mengamankan dirinya sendiri dan mencari keselamatan. Aku justru banyak berkecimpung di zona yang tidak aman dan berpotensi mendatangkan kehancuran.

Ya, sekalipun engkau tak lebih dari sekedar cermin, itu tak membuatku lelah untuk menatapmu karena selalu ada keindahan yang tersirat. Segala sifat-sifat yang tercermin itu pun adalah bagian dari dari cermin itu sendiri. Aku mencinta bukan karena sesuatu yang bukan tercermin dan kecerminannya tersebut.

Bagaimana sesuatu akan selalu baik, jika baik itu sendiri tercipta karena ada keburukan. Bagaimana sesuatu akan bermakna kanan, jika tidak ada kiri. Bagaimana kamu akan menjadi yang tunggal, jika tidak ada yang jamak. Bagaimana aku akan melihat sesuatu yang sejati, jika tidak ada beribu semu yang selalu menghijabi.

Sesuatu akan nampak jelas jika ada perbandingannya. Semua akan semakin terbukti karena ada kepalsuan-kepalsuan yang ditemui. Semua akan terlihat kejujran dan kebenarannya karena banyak kedholiman dan ketidaktepatannya.

Seperti itulah rasa ini kepadamu, Kasih! Aku percaya kepadamu, engkau yang mengejawantahkan segala pertunjukan rasa yang akhirnya dapat kukenal. Engkaulah yang satu dan tidak ada sesuatu yang lain kecuali engkau. Meski segala sesuatu memiliki pertentangannya, namun sesungguhnya itu tak lebih dari sesuatu yang engkau nyatakan, "Aku adalah harta tersembunyi. Dan aku sendiri rindu untuk segera kau kenali!"

Segala skenario ini telah tercipta begitu sempurna dan hanya engkau yang mampu menyempurnakan cahayanya. Dalam kesunyian dan heningnya malam, pantulan cahaya rembulan tak pernah berhenti menyibak rahasia yang tersembunyi di dalam gelap. Sekalipun, banyak anjing-anjing berteriak untuk menutupinya.

Harus bagaimana lagi aku mesti mencinta? Jika cinta ini juga berasal darimu. Jika engkau temukan aku diam dan tak menyapa seperti biasanya, itu bukan karena aku lupa. Melainkan romansa yang kian tercipta karena ada jarak. Sekalipun terlihat asing!

***

  

satu langkah

 



Malam demi malam terus berlanjut sebagaimana hitungan angka-angka itu semakin bertambah. Menandakan sejumlah jumlah ataupun usia sebuah perjalanan hingga akhirnya bertahan menjadi sebuah peradaban. Menyongsong batas demi batas yang banyak mengajarkan tentang jengkal-jengkal kebenaran ataupun lapisan-lapisan keindahan.

Kita sudah banyak mengetahui dan memahami, bahkan mengalami banyak perubahan yang acapkali mendewasakan, baik secara pemikiran, tutur kata ataupun perilaku yang terus bertambah baik demi belajar tentang bagaimana memiliki akhlak yang baik seperti yang telah diajarkan oleh para Rasul.

Sekali-kali bukan karena kefakiran ilmu, justru badaya yang terjadi dewasa ini berkembang begitu pesat disebabkan oleh kekayaan ilmu yang telah dicapai, kecanggihan teknologi yang semakin mutakhir, atau kealiman manusia-manusia yang semakin memungkinkan kita untuk dapat menyimulasi kholodina fihaa abadaa secara langsung.

Namun mengapa, yang terjadi sebenarnya kenapa amat jauh dari kemungkinan tersebut? Apakah ada yang salah dari ilmu-ilmu yang telah dimiliki? Adakah kecanggihan teknologi yang sudah banyak ditemukan lebih banyak membuat perbaikan atau kerusakan? Mungkinkah kealiman-kealiman yang banyak ditunjukkan oleh para hamba-Nya benar benar merupakan buah dari keimanan dan ketaqwaan?

Ilmu-ilmu itu banyak berserakan dimana-mana. Banyak orang mengetahui dan memahami, namun tak melekat di dalam output pengamalannya. Banyak orang mampu menjelaskan ilmu-ilmu yang sebenarnya memilki keistimewaan yang luar biasa, namun penjelasannya tak ada korelasi dengan laku hidup yang dijalani sehari-hari.

Karena pada akhirnya, ilmu itu hanya dipakai untuk menuntaskan dahaga kebutuhan dan keinginannya. Selama ini, ilmu itu dicari demi sebuah maqom-maqom tertentu, bukan kerendah-hatian.

Benar apabila kemutakhiran teknologi akan mempermudah pekerjaan-pekerjaan manusia. Akses informasi juga semakin cepat disampaikan dan lebih mudah diakses. Tapi, kebijaksanaan atau justru budaya nyinyir yang akhirnya terlahirkan?

Tentu, hal ini tidak dapat digeneralisir dengan berbagai banyak faktor-faktor pembentuknya. Toh, semua yang negatif tetap berdampingan dengan yang positif, begitu juga sebaliknya.

Mengenai kealiman, banyak manusia-manusia mengumbar cintanya terhadap diri sendiri. Sedangkan hal tersebut sesungguhnya menumbulkan sebuah pertanyaan, sudahkah kamu mengenal diri kita sendiri sehingga diri ini pantas untuk dicintai? Bukahkah pertanyaan atas diri tak ubahnya sebatas hasrat yang ingin segera terlampiaskan

Daripada lebih berhasrat untuk menyatakan cinta kepada diri, bukankah kita mesti banyak belajar berhitung tentang seberapa banyak kita mendapat peringatan bahwa kita hanya orang-orang yang dholim dan bodoh?

Hal itu semakin menambah pelik kerumitan, namun juga berbarengan dengan meningkatnya keindahan semakin kompleksnya citra-citra perbedaan demi tercepainya sebuah kebenaran.

Sedikit saya mengambil pesan yang belum lama ini diungkapkan oleh salah seorang guru. Beliau berkata bahwa kita tinggal menunggu salah satu langkah lagi. Meski kebenaran hanya Allah yang mengetahuui.

Satu langkah karena mungkin kita dianggap telah siap untuk menjadi tonggak perubahan. Bahkan, bisa dibilang satu langkah tersebut akan menjadi awal dari titik pusat peradaban baru tidak hanya sebatas negeri, melainkan dunia. Karena beliau melihat kita telah siap dengan kemungkinan-kemungkinan dengan banyaknya keistiqomahan akan peran-peran yang selama ini telah banyak diidentifikasi dan dipelajari.

Selain itu, beliau berkata satu langkah lagi mungkin karena kita telah banyak berpuasa atau menahan diri atas kerakusan dan ketamakan  sitem-sistem yang tidak berlandaskan dengan asas pertama hingga kelima. Kita telah terbiasa untuk memilih tidak memakan dunia yang sudah ada di depan mata dan memilih untuk lapar dalam keterasingan.

Jika menapaki 4 syarat perubahan yang pernah disampaikan oleh beliau, kehadiran Covid-19 telah sesuai dengan syarat ketiga yang merupakan wujud dari sebuah wabah setelah revolusi dan perang saudara. Tertinggal 1 syarat yang bisa jadi merupakan satu langkah sebelum perubahan itu terwujud, yakni sebuah guncangan yang besar atau bisa disebut bencana alam.

Adakah yang menginginkan hal tersebut? Tentu saja tidak. Kita masih banyak memiliki orang-orang yang begitu dikasihi dan begitu kita lindungi. Kita tentu tidak tega melihat kesengsaraan dan ketakutan orang-orang yang dikasihi terlepas dari bagaimana sifat dan kebiasaan hidupnya selama ini.

Atau mungkin hal tersebut bisa ditawar dengan disegerakan dalam skala-skala perubahan yang lebih kecil,  baik dalam lingkungan rumah tangga, desa, kota, atau lingkungan yang lainnya. Kita telah banyak memiliki bekal tinggal butuh sebuah permantik.

Pemantik dari berbagai macam silmi untuk memacu laju percepatan akan suatu perubahan yang selaras dengan tugas-tugas rahmatan lil 'alamin.

Ada atau tidaknya sebuah perubahan bukan suatu hal yang dikhawatirkan. Dalam tiap skala waktu apabila kita jeli, selalu mengandung getaran-getaran lembut yang membawa suatu perubahan. Karena mayoritas, perubahan itu benar-benar tidak merubah.

Perubahan hanya membuatnya kembali ke kebiasaan seperti semula. Kelalaian dan keingkaran. Atau manusia benar-benar telah melampaui batas.

***

Kita telah senantiasa bersungguh-sungguh dan setia melakukan kebiasaan--kebiasaan yang jauh dari wajar melalui sapaan-sapaan untuk meminta pertolongan yang sering disebut wirid atau sholawatan. Hal tersebut menjadi medan juang sendiri bagi yang terasingkan dan jauh dari keeksistensian.

Apabila adzab mampu berlaku bagi lingkungan sekitar, hal ini mungkin berlaku juga bagi keberkahan dan keselamatan lewat wirid yang terlafadzkan. Sang Guru berkata, ada 3 kemungkinan yang membuatnya qobul, bisa karena wiridnya memang bagus, bisa karena seseorang yang benar-benar tulus hingga mendapat perhatian-Nya.

Atau kemungkinan yang terakhir adalah sebuah kebenaran yang hanya Allah yang mengetahui dan menjadi hak prerogatifnya untuk memberi perlindungan dan keamanan.

Lalu, kemanakah langkah itu akan tertuju? Kelahiran atau kehancuran? Namun, bukankan salah satu adanya makna kelahiran karena adanya kehancuran (kematian)? Wallahu 'alam bish-shawab.

 

Jumat, 25 September 2020

Mengapa Tuhan mengatur-ngatur kita?

 



Mengapa Tuhan mengatur-ngatur kita? Pertanyaan ini bagi sebagian orang mungkin merupakan sebuah pertanyaan yang tidak etis (su’ul adab) karena telah mempersoalkan perbuatan Tuhan.

Kata “mengatur-ngatur” dalam rangkaian kalimat tanya di atas juga berkonotasi negatif yang seolah mencitrakan penanya telah enggan mengikuti aturan Tuhan. Namun, dalam perspektif filsafat, pertanyaan ini justru merupakan pertanyaan yang sangat mulia dan paling luhur sebab berusaha merambah tataran aksiologi.

Aksiologi secara sederhana dapat diterjemahkan sebagai cabang dari filsafat yang membahas persoalan nilai, tujuan, manfaat, guna, dan kebijaksanaan dari sebuah entitas. Tataran aksiologi melampai dua tataran filsafat lain yaitu ontologi yang mendedah hakikat entitas dan epistemologi yang menjabarkan bagaimana entitas terformulasikan.

Menjawab Pertanyaan Filosofis

Pertanyaan aksiologi “Mengapa Tuhan mengatur-ngatur kita?” sebenarnya merupakan bentuk penyederhanaan dari banyak pertanyaan parsial-fisosofis seperti:

“Mengapa Tuhan mewajibkan kita shalat?”

“Mengapa Tuhan melarang kita berbuat zalim?”

“Mengapa Tuhan melarang kita mencuri?”

“Mengapa Tuhan melarang kita mengkonsumsi minuman keras?”

“Mengapa Tuhan mengharuskan pernikahan untuk menghalalkan hubungan dengan lawan jenis?”

Kumpulan pertanyaan filosofis ini membutuhkan jawaban yang tidak sederhana. Jawaban berupa pengutipan dalil-dalil baik dari Al-Qur’an maupun Sunnah tidak mencukupi untuk merespon pertanyaan ini. Pengutipan dalil dengan analisis kebahasaan dan usul fikih baru sampai pada tataran epistemologi atau formulasi hukum dan belum sampai pada tataran aksiologi atau nilai.

Aspek nilai ini berkaitan erat dengan apa yang para ulama sebut sebagai tujuan-tujuan syariat (maqashid al-shari‘ah).  Tujuan-tujuan ini ditemukan dari hasil istiqra’ atau penyimpulan secara komprehensif terhadap seluruh aturan Tuhan (baca: syariat) baik berupa perintah, larangan, aturan teknis, maupun sanksi hukum Tuhan yang mengikat manusia.

Di Balik Tuhan Mengatur Manusia

Dalam kitab Maqashid al-Syari‘ah al-Islamiyyah, Muhammad ath-Thahir ibn ‘Ashur (w. 1973 M) mengambil konklusi bahwa tujuan dari seluruh aturan Tuhan ialah untuk menjaga keteratuan umat (hifdz nidzam al-ummah).

Secara lebih spesifik, pemikiran Abu Hamid al-Ghazali dalam kitab al-Mustashfa dan Ibrahim al-Syathibi (w. 1388 M) dalam kitab al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari‘ah relevan untuk menjawab lima pertanyaan partikular-filosofis di atas.

Menurut keduanya, penurunan aturan Tuhan bertujuan untuk melestarikan lima keniscayaan (al-daruriyyah al-khams) yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.

Lima keniscayaan ini dilestarikan melalui dua jalan yaitu jalan realisasi (nahiyah al-wujud) dan jalan proteksi (nahiyah al-‘adam). Jalan realisasi termanifestasi dalam perintah, larangan, dan arahan Tuhan agar lima keniscayaan dapat terwujud sementara jalan proteksi terejawantah dalam perintah, larangan dan sanksi hukum agar yang telah terwujud dapat tetap eksis.

Untuk merealisasikan pelestarian agama dalam diri setiap manusia, Tuhan memerintahkan manusia membenarkan semua rukun iman dan menjalankan seluruh rukun Islam. Setelah semua itu terealisasikan, Tuhan memerintahkan jihad fi sabilillah ketika eksistensi keberimanan dan keberislaman diganggu.

Untuk merealisasikan pelestarian jiwa, Tuhan memerintahkan manusia untuk memenuhi kebutuhan pokoknya baik sandang, pangan, dan papan. Pelestarian jiwa dilindungi dengan larangan pembunuhan dan segala perbuatan perbuatan zalim yang mengancam jiwa manusia. Ketika pelestarian jiwa terenggut, sanksi pidana seperti kisas dan diat ditegakan.

Untuk merealisasikan pelestarian akal, Tuhan memerintahkan manusia untuk menuntut ilmu, makan makanan yang halal dan bergizi. Di samping itu, jalan proteksi diterapkan dengan larangan keras mengkonsumsi minuman yang memabukan dan sanksi keras terhadap pelanggarnya.

Untuk merealisasikan pelestarian keturunan, Tuhan mengatur pola hubungan ideal antara laki-laki dan perempuan dengan ikatan sakral pernikahan dan segala hal yang berkaitan. Kesakralan ikatan ini diimbangi dengan larangan zina dan sanksi bagi pelakunya.

Perhatian Tuhan tentang bagaimana manusia mesti berinteraksi dengan lawan jenis memang sungguh besar. Jalan proteksi telah dimulai dengan perintah untuk mengeramkan mata dan menutup aurat.

Terakhir, Tuhan memberikan legitimasi terhadap kepemilikan manusia. Dia memerintahkan manusia untuk bekerja dan bermuamalah dengan baik untuk memperolehnya. Pada saat bersamaan, hal-hal yang mengancam kepemilikan manusia seperti pencurian, gasab, dan perampokan dilarang sama sekali. Sanksi terhadap pelanggar hak milik manusia terwujud dalam aturan-aturan had (pidana) dan takzir.

Kepentingan Tuhan atau Manusia?

Abdul Wahhab Khalaf dalam kitab Ilm Ushul al-Fiqh menegaskan bahwa lima keniscayaan merupakan dasar kehidupan manusia di mana kemaslahatan mereka tidak bisa terwujud tanpa kehadiran lima hal fundamental ini. Ketika salah satu dari lima hal ini tidak dilindungi, maka keteraturan umat akan terganggu, kemaslahatan mereka akan terabaikan, dan kekacauan akan merajalela.

Jadi, maksud Tuhan mengatur-ngatur hidup kita bukanlah untuk kepentingan Tuhan sendiri, melainkan untuk kepentingan kita umat manusia. Apapun yang Tuhan perintahkan pada manusia bertujuan untuk memberikan manusia kemaslahatan sedangkan segala hal yang Tuhan larang adalah untuk menghindarkan manusia dari berbagai macam kerusakan.

 

Rabu, 23 September 2020

BIOGRAFI SYECH ABDUL MUHYI PAMIJAHAN


Desa Pamijahan di Tasikmalaya merupakan salah satu situs sejarah Islam terbesar di Jawa Barat. Para pengunjung dari berbagai daerah ramai mengunjungi tempat ini, baik untuk berziarah ke makam Syekh Abdul Muhyi maupun berwisata religi khususnya di hari–hari besar Islam seperti Ramadhan dan Maulid.

Daya tariknya cukup menggiurkan, sebab selain terdapat makam para wali, Pamijahan juga sarat akan nilai sejarah penyebaran Islam khusus di tanah Sunda, Jawa Barat.

Asal Usul Pamijahan
Mengenai asal usulnya, ada rumor mengatakan bahwa Pamijahan diartikan sebagai ‘pemujaan’. Hal ini ditampik tegas oleh Abdullah penyusun buku Sejarah Perjuangan Syekh Haji AbdulMuhyi. Menurutnya Pamijahan bukan berarti pemujaan, tapi tempat ikan bertelur.

Sebagaimana kata mijah dalam bahasa setempat berati ikan yang akan bertelur atau banyak bergerak tidak bisa diam. Disebut demikian, sebab banyak hilir mudik warga yang berziarah ke makam Syekh Abdul Muhyi dalam rentang waktu yang berbeda-beda. 

Pamijahan sendiri adalah sebuah desa yang terdiri dari enam kampung, yaitu Parumpung, Pamijahan, Panyalahan, Koranji, Pandawa dan Cicandra. Di desa-desa tersebut tersebar berbagai makam tokoh-tokoh besar. Misalnya makam Syekh Abdul Muhyi, makam Khatib Muwahid, makam Syekh Abdul Qohar, makam Sembah Dalem Yudanegara dan lain-lain.
Silsilah Syekh Abdul Muhyi Pamijahan

Pamijahan mulai ramai diziarahi pengunjung setelah dimakamkannya tokoh ulama karismatik dan berpengaruh dalam penyebaran Islam di Tasikmalaya dan pengembangannya di Jawa barat. Beliau bernama Syekh Haji Abdul Muhyi. Berdasarkan catatan R. Abdullah, silsilah beliau masih keturunan Rasulullah generasi ke-25.

Syekh Abdul Muhyi lahir di Mataram pada tahun 1650 M. Namun, beliau tumbuh berkembang di Gresik. Beliau memulai pengembaraan intelektualnya dengan belajar ilmu agama Islam di Gresik dan Ampel. Kemudian di usia 19 tahun Abdul Muhyi muda merantau ke Kuala Aceh selama 8 tahun.

Di sana Abdul Muhyi berguru kepada Syekh Abdul Ra’uf as-Sinkili, seorang ulama besar yang pernah menuntut ilmu di sejumlah negara Arab seperti Dhoha, Yaman, Jeddah, Makkah dan Madinah. Termasuk juga merupakan pembawa pertama Tarikat Syattariyah ke bumi Nusantara (Damanhuri : ‘Umdah al-Muhtajan: Rujukan Tarekat Syattariyah Nusantara).

Kisah Syekh Abdul Muhyi Saat Belajar
Pada usia 27 tahun Syekh Abdul Muhyi dan teman-temannya melakukan rihlah ilmiah ke Baghdad Irak dipandu gurunya, Syekh Abdul Rauf. Di sana lah beliau dapat berziarah ke makam Syekh Abdul Qadir Jailani. Setelah itu, rombongan melanjutkan perjalanan ke Makkah untuk berhaji.

Saat mereka berada di Makkah, ada suatu kejadian mistis. Sang guru mendapat ilham bahwa diantara muridnya akan ada yang mendapat kelebihan. Jika tanda ini muncul pada muridnya, maka murid tersebut harus pulang dan mencari gua di pulau Jawa bagian barat dan tinggal di sana. 

Saat mereka berkumpul di Masjidil Haram, tiba-tiba cahaya menyongsong menuju wajah Syekh Abdul Muhyi. Sang guru meyakini kejadian tersebut adalah pertanda kewalian sesuai petunjuk dari ilham yang ia peroleh.

Kembali ke Bumi Nusantara

Rombongan pun pulang ke Kuala, Aceh. Syekh Abdul Rauf lalu meminta Syekh Abdul Muhyi untuk pulang ke kampung halamannya di Gresik. Setelah itu beliau memintanya untuk pergi mencari gua di pulau Jawa bagian barat dan menetap di sana.
Setalah pulang ke Gresik, Syekh Abdul Muhyi mempersiapkan segala sesuatunya untuk memulai tugas pencarian gua termasuk meminta restu orang tua. Lokasi awal yang akan dia tuju adalah Darma Kuningan Cirebon. Di sana beliau menghabiskan waktu selama tujuh tahun. 

Perjalanan berikutnya, menuju daerah Pameungpeuk Garut Selatan selama dua tahun lalu ke Batuwangi. Kemudian pergi ke Lebaksiuh selama empat tahun. Sebagai seorang alim ulama, setiap tempat yang beliau kunjungi tak lepas dari syiar menyebarkan agama Allah.

Hal ini terlihat, dari respon masyarakat di setiap daerah yang begitu menyukai laku lampah beliau. Mereka pun memintanya agar tidak pergi dan tetap tinggal di kampung mereka agar bisa mengajari mereka akidah dan syariat Islam. Petualangan beliau dari kampung ke kempung ini telah berdampak pada berkembangnya Islam khususnya di Tasikmalaya dan Jawa Barat.

Kembali ke topik pencarian gua. Sesampainya di Lebaksiuh ada sebuah lembah bernama Mujarrad. Di sana akhirnya beliau menemukan goa yang selama ini beliau cari. Ternyata goa tersebut adalah tempat Syekh Abdul Qadir Jailani menerima ijazah dari gurunya Imam Sanusi.

Nama Mujarrad sendiri diambil dari bahasa Arab yang salah satu artinya adalah tempat penenangan. Bergeser ke sebelah timur terdapat kampung bernama Safarwadi. Kata Safarwadi  terdiri dari dua kosa kata. Safar berarti berjalan, dan Wadi berarti lembah atau jurang.

Sehingga jika diterjemahkan Safarwadi berarti berjalan di atas lembah atau jurang. Sebagaimana kampung tersebut mulanya berada di sebuah lembah. Nah seiring berjalannya, waktu kawasan berubah nama menjadi kampung Pamijahan.

Perjalanan panjang Syekh Abdul Muhyi untuk menyelesaikan titah dari gurunya untuk mencari goa ini bersumber dari buku Sejarah Perjuangan Syekh Haji Abdul Muhyi yang disusun oleh R. Abdullah Apap terbit tahun 1997.

Metode Dakwah Islam di Tanah Sunda

Selain perjalan panjangnya melintasi ruang dan waktu, hal unik yang rasanya perlu diulik adalah tata cara Syekh Abdul Muhyi Pamijahan sebagai wali dalam berdakwah ajaran Islam. Dalam sebuah jurnal bertajuk ‘Metode Dakwah Syekh Abdul Muhyi’ karya Muhammad Wildan Yahya dkk, beliau setidaknya menerapkan dua cara berdakwah.

Pertama, bil-lisan (dengan lisan). Dakwah ini dengan cara ceramah, diskusi, talqin, bimbingan dzikir, bandongan mengupas kitab Tarekat Syattariyah dan sorogan atau pengecekan kemampuan murid dalam menguasai ilmu.

Keduabil-hal (dengan perbuatan). Dakwah ini dengan cara keteladanan akhlak mulia, dakwah praktis seperti membimbing masyarakat agar memancing dan bercocok tanam yang produktif, pernikahan, menyingkirkan perdukunan. Cara ini ia lakukan melalui pertarungan spiritual dan menjalin komunikasi politik dengan penguasa setempat.

Sumber lainnya menyebutkan, beliau memiliki lagam suara yang indah. Sehingga setiap kali membaca Al-Qur’an, warga tertarik untuk mempelajarinya.
Namun, warga tidak serta merta boleh memegang, membawa atau membawa Al Qur’an. Beliau memberikan syarat yang harus mereka penuhi yakni dengan membaca dua kalimat syahadat kemudian berwudhu dan terus meningkat.

Beliau pun menjelaskan tentang keutamaan Al Qur’an. Bahwa Al Qur’an dapat menenangkan jiwa, mempermudah yang sulit menjadi mudah, dan dekat dengan Tuhan alam semesta yakni Allah Swt.
Dakwah yang beliau bawa sangatlah relevan dengan budaya warga sekitar. Kemudian dilakukan secara perlahan dan bertahap, tidak keras, intoleran apalagi penuh kemurkaan. Dengan cara seperti itu, dakwah beliau mudah diterima masyarakat.

Ini mengingatkan kita pada dakwah Nabi Muhammad Saw. Syekh Abdul Muhyi Pamijahan adalah figur yang sangat lembuh, berhati mulia, menjunjung tinggi kejujuran, keadilan serta peduli terhadap masyarakat. Saat dilempar kotoran unta, bukannya marah beliau justru memafkannya. Saat dicaci maki, beliau malah berdoa kepada Allah agar mereka diampuni karena ketidaktahuan mereka. 

Keindahan perangai Rasul tidak hanya diakui oleh para sahabat namun diakui juga oleh para musuh beliau. Bahkan tidak jarang dari mereka yang awalnya membenci beliau justru masuk Islam setelah hatinya tersentuh oleh akhlak mulia Rasulullah Saw.

 

Cahaya yang kau lewatkan

  Andai saja aku biarkan mata ini terjaga agar bisa menyambutmu kedatanganmu, apakah hal tersebut akan menjadi suatu kebahagiaan untukmu? Te...